Ada pemuda-pemudi melakukan zina beberapa waktu yang lalu. Keduanya ingin bertaubat. Pertanyaan :
a. Bagaimana taubatnya ?
b. Haruskah keduanya menikah ?
c. Bagaimana kalau orangtua wanita tetap tidak setuju ?
d. Bagaimana nanti status anak keduanya ?
Mohon bantuannya supaya mereka berdua dapat kembali ke jalan yang benar.
Ahmad Abdullah [ahm....@plasa.com]
Jawab :
Oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Cara Taubatnya
Keduanya bertaubat kepada Alloh dengan taubat nasuha, yaitu dengan memenuhi tiga syarat taubat yang disebutkan oleh para ulama. Tiga syarat ini disimpulkan oleh para ulama dari Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Pertama, keduanya harus menyesali perbuatan tersebut.
Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya penyesalan itu adalah taubat." [HR. Ahmad, Ibnu Majah, Hakim, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, 4252]
Kedua, melepaskan diri dan menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari perbuatan yang seperti itu. Tidak lagi mengulangi maupun mendekati apa-apa yang akan menyeret dan mengantar kepada perzinaan, seperti pergaulan bebas dengan wanita (pacaran), berbincang-bincang secara bebas dengan wanita yang bukan mahrom, bercengkerama, ikhtilath/bercampur baur.
Semuanya adalah perkara yang diharamkan syariat untuk menutupi pintu perzinaan. Hendaknya keduanya menjauhkan diri dari itu semua.
Ketiga, kemudian keduanya ber-'azzam/bertekad kuat untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya tersebut. Juga ber-istighfar kepada Alloh, memohon ampunanNya. Dalam hal ini ada hadits Abu Bakr ash-Shiddiq tentang disyariatkannya seseorang yang telah melakukan perbuatan maksiat untuk sholat dua rakaat lalu memohon ampunan kepada Alloh [HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud 1021]
Haruskah keduanya Menikah?!
Keduanya tidak harus menikah. Namun tidak mengapa keduanya menikah, dengan syarat :
Apabila wanita yang dizinainya tidak sampai hamil, maka pembebasan rahimnya dengan cara menunggu haidh berikutnya. Setelah melakukan perzinaan, kemudian ia haidh. Dalam kasus yang seperti ini, boleh menikahinya setelah melewati satu kali masa haidh, yang menunjukkan bahwa memang tidak ada bibit yang tersimpan dalam rahimnya. Dan tentunya ini apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.
Adapun jika salah satu dari keduanya belum bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga salah satu dari keduanya masih berlaku padanya nama zaani (pezina), maka keduanya tidak boleh menikah.
Dalilnya adalah firman Alloh,
"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin." [QS. An-Nur ; 3]
Maksudnya, seorang pezina diharamkan menikah dan sebaliknya wanita pezina juga haram dinikahi. Jadi bolehnya menikah adalah apabila keduanya memang sudah bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga tidak lagi dinamakan lelaki pezina atau wanita pezina.
Bagaimana Status Anak Keduanya ?!
Ini tentunya kalau ditakdirkan bahwa wanita yang dizinai tersebut hamil akibat perzinaan tersebut. Status anak tersebut adalah anak yang lahir karena perzinaan.
Satu-satunya hukum yangberlaku adalah bahwa si laki-laki tidak boleh menikahi anak hasil perzinaan tersebut, karena anak wanita itu berasal dari air maninya. Hanya ini satu-satunya hukum yang berlaku, sebagaimana diterangkan oleh para ulama. Wallahu a'lam bish-showwab.
sumber : majalah As-Syariah no.26/1427/2006
a. Bagaimana taubatnya ?
b. Haruskah keduanya menikah ?
c. Bagaimana kalau orangtua wanita tetap tidak setuju ?
d. Bagaimana nanti status anak keduanya ?
Mohon bantuannya supaya mereka berdua dapat kembali ke jalan yang benar.
Ahmad Abdullah [ahm....@plasa.com]
Jawab :
Oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Cara Taubatnya
Keduanya bertaubat kepada Alloh dengan taubat nasuha, yaitu dengan memenuhi tiga syarat taubat yang disebutkan oleh para ulama. Tiga syarat ini disimpulkan oleh para ulama dari Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Pertama, keduanya harus menyesali perbuatan tersebut.
Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya penyesalan itu adalah taubat." [HR. Ahmad, Ibnu Majah, Hakim, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, 4252]
Kedua, melepaskan diri dan menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari perbuatan yang seperti itu. Tidak lagi mengulangi maupun mendekati apa-apa yang akan menyeret dan mengantar kepada perzinaan, seperti pergaulan bebas dengan wanita (pacaran), berbincang-bincang secara bebas dengan wanita yang bukan mahrom, bercengkerama, ikhtilath/bercampur baur.
Semuanya adalah perkara yang diharamkan syariat untuk menutupi pintu perzinaan. Hendaknya keduanya menjauhkan diri dari itu semua.
Ketiga, kemudian keduanya ber-'azzam/bertekad kuat untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya tersebut. Juga ber-istighfar kepada Alloh, memohon ampunanNya. Dalam hal ini ada hadits Abu Bakr ash-Shiddiq tentang disyariatkannya seseorang yang telah melakukan perbuatan maksiat untuk sholat dua rakaat lalu memohon ampunan kepada Alloh [HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud 1021]
Haruskah keduanya Menikah?!
Keduanya tidak harus menikah. Namun tidak mengapa keduanya menikah, dengan syarat :
apabila wanita yang telah dizinai tersebut hamil karena perzinaan itu, maka tidak boleh menikahinya pada masa wanita itu masih hamil. Mereka harus menunggu sampai si wanita melahirkan bayinya, baru boleh menikahinyaInilah pendapat yang benar yang disebutkan oleh ulama, yaitu bahwa wanita yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahi sampai melahirkan. Karena disana ada dalil yang menuntut adanya istibra' ar-rahim (pembebasan rahim) dari bibit seseorang. Karena itu rahim harus dibebaskan terlebih dahulu dengan cara menunggu sampai lahir, sehingga rahimnya bebas tidak ada lagi bibit didalamnya. Setelah itu baru bisa menikahinya. Itu pun apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.
Apabila wanita yang dizinainya tidak sampai hamil, maka pembebasan rahimnya dengan cara menunggu haidh berikutnya. Setelah melakukan perzinaan, kemudian ia haidh. Dalam kasus yang seperti ini, boleh menikahinya setelah melewati satu kali masa haidh, yang menunjukkan bahwa memang tidak ada bibit yang tersimpan dalam rahimnya. Dan tentunya ini apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.
Adapun jika salah satu dari keduanya belum bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga salah satu dari keduanya masih berlaku padanya nama zaani (pezina), maka keduanya tidak boleh menikah.
Dalilnya adalah firman Alloh,
"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin." [QS. An-Nur ; 3]
Maksudnya, seorang pezina diharamkan menikah dan sebaliknya wanita pezina juga haram dinikahi. Jadi bolehnya menikah adalah apabila keduanya memang sudah bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga tidak lagi dinamakan lelaki pezina atau wanita pezina.
Bagaimana Status Anak Keduanya ?!
Ini tentunya kalau ditakdirkan bahwa wanita yang dizinai tersebut hamil akibat perzinaan tersebut. Status anak tersebut adalah anak yang lahir karena perzinaan.
Anak ini tidak boleh dinasabkan pada lelaki yang berzina dengan ibunya, karena dia bukanlah ayahnya secara syariat. Oleh karena itu, sang anak dinasabkan kepada ibunya. Demikian pula tidak boleh saling waris-mewarisi.Juga seandainya anak tersebut wanita, maka laki-laki tersebut tidak boleh menjadi walinya dalam pernikahan dan juga bukan mahramnya sehingga tidak berlaku padanya hukum-hukum mahram. Sehingga laki-laki itu tidak boleh berkhalwat dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, tidak boleh menjabat tangan dengannya, dan seterusnya.
Satu-satunya hukum yangberlaku adalah bahwa si laki-laki tidak boleh menikahi anak hasil perzinaan tersebut, karena anak wanita itu berasal dari air maninya. Hanya ini satu-satunya hukum yang berlaku, sebagaimana diterangkan oleh para ulama. Wallahu a'lam bish-showwab.
sumber : majalah As-Syariah no.26/1427/2006