Selasa, 14 Mei 2013

[sebuah pengantar] Poligami Indah Sesuai Sunnah

Banyak wanita mempertanyakan buruknya praktik ta'addud (poligami) dalam Islam. Mereka kemudian menolak keras poligami dengan alasan menyakiti wanita. Penolakan ini bahkan merembet hingga menggugat syariat, menganggap syariat tak lagi memberikan keadilan. Dengan gelap mata, penafsiran ajaran agama selama ini divonis hanya memihak kaum laki-laki, serta dituduh dipahami secara tekstual dan parsial.

Alhasil, wanita boleh meradang ketika suaminya menikah lagi. Lantas, kenapa banyak wanita yang dibiarkan jadi selingkuhan pria beristri? Mengapa pula banyak wanita yang dengan sukacita jadi "istri" simpanan demi seonggok materi? Dan mengapa tak sedikit istri yang lebih senang suaminya "jajan" atau selingkuh ketimbang kawin lagi, (lagi-lagi) dengan alasan materi - takut harta suami direbut madunya, warisan suami akan terbagi, dsb? Alasan menyakiti wanita pun kian abu-abu.

Jumat, 10 Mei 2013

Menyikapi Kesalahan Anak

Mungkin pernah kita mendengar tentang seorang ayah yang tega menyakiti anaknya disebabkan karena si anak merusak salah satu barang dirumah. Atau seorang ibu yang membentak anaknya hanya karena dia menumpahkan minuman. Di waktu yang lain, kita dengar tentang orangtua yang cuek saja ketika tahu anaknya memukul anak tetangga. Dua gambaran yang berbeda tentang sikap orangtua terhadap kesalahan anak.


Manusia tempat salah dan lupa. Terlebih anak-anak, akal dan kemampuan fisik mereka belum sempurna sehingga lebih sering berbuat salah dibanding orang dewasa.
Bagaimana kita menyikapinya?
Apakah semenjak kecil dibiasakan dengan hukuman supaya mereka jera, atau memberikan toleransi penuh atas kesalahan mereka dengan berdalih kasih sayang?
Tentunya sikap pertengahan adalah yang terbaik, memberikan hukuman atau toleransi sesuai dengan kondisi.
Nah, berikut ini beberapa langkah yang membantu kita bersikap tepat saat anak terjatuh dalam kesalahan.




Melihat Kesalahan
Ketika anak berbuat salah, kita lihat apakah kesalahan itu berhubungan dengan syariat atau hanya menyangkut hal keduniaan semata. Tentunya bila menyangkut perbuatan dosa, kita mesti memberikan peringatan lebih 'keras' dibanding bila kesalahan itu hanya menyangkut keduniaan.

Misalnya, anak yang ketahuan berbohong berbeda dengan yang sekedar mengotori rumah dengan mainannya. Namun nampaknya perbedaan ini kurang diperhatikan oleh para orangtua. Kita sering melihat orangtua yang marah habis-habisan ketika anaknya mendapat nilai kurang dalam ulangan harian. Namun mereka membiarkan begitu saja anaknya yang kelas 5 SD meninggalkan sholat.
Padahal Rosulullah  sholallohu 'alaihi wasallam memerintahkan kita untuk memukul mereka bila meninggalkan sholat ketika usia mereka 10 tahun.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalur Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya mengatakan bahwa Rosulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya,
"Perintahlah anak-anak kalian untuk sholat ketika berumur 7 tahun, dan pukullah apabila ia tetap tidak mau melaksanakannya pada usia 10 tahun, serta pisahkanlah ranjang-ranjang mereka." [HR. Abu Dawud dalam sunan beliau dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud]

Dan masih banyak lagi contoh yang semisal. Ini peringatan bagi kita, para orangtua, agar lebih mengutamakan akhirat mereka daripada dunia mereka.

Cari Tahu Sebabnya
Kalau kita mau melihat, kebanyakan kesalahan anak muncul karena keterbatasan akal maupun fisik mereka. Misal, mereka ingin mengambil benda yang tingginya melebihi tinggi badan mereka sehingga jatuh.
Atau mereka berniat baik ingin berbagi makanan dengan adik bayinya, tapi berakibat fatal karena sang adik belum bisa menerima makanan.
Oleh karenanya, kita perlu melihat latar belakang kesalahan mereka sebelum buru-buru menghukum mereka. Berbaik sangkalah terhadap anak-anak. Apabila butuh arahan, maka berikan penjelasan kepada mereka dengan cara yang mereka pahami. Jangan mempersulit, namun beri mereka kemudahan, sehingga mereka tidak lari dari kita.

Lembut Dalam Menghukum
Kalau ternyata memang dibutuhkan hukuman, maka hukumlah dengan kelembutan. Bukan berarti tidak tegas. Namun dalam menghukum kita niatkan karena kita menyayangi mereka, tidak ingin mereka terjatuh dalam kesalahan untuk yang kedua kalinya. Bukan semata ingin membalas kesalahan mereka.
Dengan cara seperti ini, kita akan memilih hukuman yang bisa mereka terima dan memberi mereka pelajaran.
Sebagaimana kisah seorang Arab Badui yang kencing di masjid, jelas ini merupakan kesalahan. Namun dengan kelembutan, Rosulullah sholallohu 'alaihi wasallam tidak marah, bahkan beliau memberi peringatan yang bisa diterima oleh Arab Badui tersebut.
Sebagaimana kisah indah ini termaktub dalam Shahih al-Bukhari, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallohu 'anhu, mengisahkan bahwa pada suatu saat datanglah seorang Arab gunung ke masjid. Ia kemudian kencing di masjid. Kontan para shahabat langsung mengingkarinya.
Rosulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda, "Biarkan ia dulu." Kemudian setelah selesai kencing, Rosulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda, "Siramlah kencing itu dengan seember air. Sesungguhnya kalian diutus hanyalah untuk mempermudah, bukan mempersulit."

Nah, diantara hukuman yang bisa mendidik adalah memberikan nasehat dan pengarahan sesuai pemahaman mereka ; bermuka masam ; membentak ; mendiamkan ; dan memukul dengan pukulan yang tidak keras.

Tentunya macam hukuman bisa disesuaikan dengan tingkatan kesalahan. Orangtua juga boleh menakut-nakuti mereka sebelum terlanjur terjadi kesalahan.
Ibnu Abbas radhiyallohu 'anhu pernah mengatakan bahwa Rosulullah sholallohu 'alaihi wasallam memerintahkan agar menggantung cambuk dirumah. Hal ini bukan untuk mencambuk anggota keluarga, namun sebagai peringatan terhadap mereka.


Demikian wahai para orangtua, kita mesti berusaha bersikap tepat terhadap kesalahan anak. Ini kita lakukan dalam rangkaian pendidikan yang baik kepada mereka.
Wallahu a'lam [Ummu Umar].


sumber : majalah Tashfiyah edisi 05/1432H/2011

Kamis, 09 Mei 2013

Lama Waktu Nifas

Berapa lama wanita yang nifas meninggalkan sholat ?

Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh rahimahullah menjawab,
"Wanita yang nifas memiliki beberapa keadaan :

Pertama : Darah nifasnya berhenti sebelum sempurna 40 hari dan setelah itu sama sekali tidak keluar lagi. Maka ketika darah tersebut berhenti/tidak keluar lagi, si wanita harus mandi, puasa (bila bertepatan dengan bulan Ramadhan), dan mengerjakan sholat (bila telah masuk waktunya).

Ridha Terhadap Takdir

Kehidupan dunia ini bagaikan sebuah roda yang berputar. Pasti mengalami naik turun, kadang di atas dan kadang di bawah. Tidak lepas dari dua hal, yaitu keadaan menyenangkan dan keadaan menyusahkan.


Dalam dua keadaan tersebut, seorang hamba mempunyai kewajiban yang harus ditunaikannya. Sehingga, dengannya ia bisa menyempurnakan keimanan.

Kewajiban saat ditimpa sesuatu yang menyusahkan adalah bersabar. Qalbunya, yakin setiap musibah datang dari Alloh dengan segala hikmah di baliknya. Lisannya, mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, sesungguhnya kita ini milik Alloh, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kita kembali. Anggota badannya, tidak melakukan sesuatu yang dimurkai Alloh.

Rabu, 08 Mei 2013

Menghadiahkan Bacaan Qur'an

Bolehkah bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur'an dan saya hadiahkan untuk ayah dan ibu saya, untuk diketahui bahwa keduanya ummi (tidak bisa baca tulis). Dan bolehkah saya khatamkan Al-Qur'an untuk saya hadiahkan kepada orang yang bisa baca tulis tapi saya (memang) bermaksud menghadiahkannya kepadanya? Juga apakah boleh bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur'an untuk saya hadiahkan kepada lebih dari satu orang?


Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab,
Tidak terdapat dalam Al-Qur'an yang mulia ataupun dalam hadits yang suci dari Nabi sholallohu 'alaihi wasallam, tidak pula dari para shahabatnya yang mulia, sesuatu yang menunjukkan disyariatkannya menghadiahkan bacaan Al-Qur'an al-Karim untuk kedua orangtua atau untuk yang lain. Allah 'azza wa jalla mensyariatkan membaca Al-Qur'an untuk diambil manfaat darinya, diambil faedah darinya serta untuk dipahami maknanya lalu diamalkan.


Allah ta'ala berfirman,
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang berakal." [QS. Shaad ; 29]

"Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus." [QS. Al Isra' ; 9]

"Katakanlah : 'Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin." [QS. Fushilat ; 44]

Nabi sholallohu 'alaihi wasallam bersabda,
"Bacalah Al-Qur'an karena sesuangguhnya (amalan baca) Al-Qur'an itu nanti akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya." [Shahih, HR. Muslim no. 804]

Beliau juga bersabda (maknanya),
"Bahwa nanti akan didatangkan (amalan baca) Al-Qur'an pada hari kiamat dan para ahli Al-Qur'an yang mengamalkannya, akan datang kepadanya surat Al-Baqarah, Ali Imran, keduanya akan membela para pembacanya." [Shahih, HR. Muslim no. 804 dengan makna itu]

Jadi tujuan diturunkannya Al-Qur'an adalah untuk diamalkan, dipahami, dan dipakai untuk ibadah dengan membacanya, serta memperbanyak membacanya. Bukan untuk menghadiahkannya kepada orang-orang yang telah wafat atau yang lain. Aku tidak mengetahui ada dasar yang bisa dijadikan sandaran dalam hal menghadiahkan bacaan Al-Qur'an untuk kedua orangtua atau yang selain mereka. Padahal Nabi sholallohu 'alaihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan atas dasar ajaran kami maka itu tertolak." [Shahih, HR. Muslim]

Sebagian ulama membolehkan hal itu dan mengatakan : "Tidak mengapa menghadiahkan pahala Al-Qur'an dan amalan shalih yang lain."
Mereka mengkiaskan/menganalogikannya dengan shodaqoh dan doa untuk mayit.

Akan tetapi, yang benar adalah pendapat yang pertama (TIDAK BOLEH), berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan yang semakna dengannya. Seandainya menghadiahkan bacaan itu sesuatu yang disyariatkan, tentu akan dilakukan oleh as-salafush shalih (pendahulu kita yang baik). Juga, dalam hal ibadah tidak boleh digunakan qiyas (kias/analogi), karena ibadah itu berhenti pada tuntunan Nabi sholallohu 'alaihi wasallam. Tidak boleh ditetapkan kecuali dengan nash dari kalamullah atau hadits Nabi sholallohu 'alaihi wasallam, berdasarkan hadits yang lalu dan yang semakna dengannya.

Adapun menyedekahkan untuk orang yang sudah mati dan yang lain, demikian pula mendoakan mereka, menghajikan orang lain oleh yang sudah haji untuk dirinya sendiri, juga mengumrahkan oleh yang sudah umrah untuk dirinya sendiri, juga membayarkan utang puasa bagi yang telah wafat dan punya utang, maka semua ibadah ini boleh, telah shahih hadits-hadits dari Rosulullah sholallohu 'alaihi wasallam.
Alloh-lah yang memberikan taufiq.
[Majmu' Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi'ah]


Pendapat al-Imam Syafi'i rahimahullah,
Apa yang dipaparkan diatas juga merupakan pendapat al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah, sebagaimana disebutkan oleh Ibu Katsir sebagai salah seorang ulama ber-mahdzab Syafi'i dalam tafsirnya. Beliau katakan, firman-Nya :
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." [QS. An-Najm ; 39]

Yakni, sebagaimana tidak dibebankan padanya dosa orang lain, demikian pula ia tidak mendapatkan ganjaran kecuali dari apa yang dia usahakan sendiri.

Dari ayat ini, al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah dan yang mengikuti beliau, mengambil kesimpulan bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur'an tidak sampai kepada mayit. Karena dia bukan dari amalan mayit dan usahanya. Oleh karenanya, Nabi sholallohu 'alaihi wasallam tidak menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk itu. Tidak pula membimbing ke arah tersebut, baik dengan nash yang jelas atau dengan isyarat. Tidak pula dinukilkan hal itu dari seorang pun dari kalangan shahabat. Seandainya memang baik, tentu mereka akan mendahului kita dalam hal itu. Sedangkan dalam perkara ibadah, kita harus membatasinya pada nash (ayat dan hadits), tidak boleh diberlakukan padanya berbagai macam analogi dan pendapat akal.

Adapun shodaqoh dan doa, hal ini telah disepakati bahwa bisa sampai. Dan telah disebutkan (bolehnya) oleh yang menetapkan syariat.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallohu 'anhu, ia berkata, Rosulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda,
"Bila anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga hal, anak shalih yang mendoakannya, shodaqoh jariyah, dan ilmu yang bermanfaat."

Tiga perkara ini pada hakikatnya adalah bagian dari usahanya, jerih payah dan amalnya. Sebagaimana terdapat dalam hadits :
"Diantara yang terbaik dari apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya dan sungguh anaknya adalah termasuk dari usahanya."

Shodaqoh jariyah juga seperti wakaf dan sejenisnya, termasuk bagian dari amalnya. Allah 'azza wa jalla berfirman,
"Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan." [QS. Yasin ; 12]

Juga ilmu yang dia sebarkan di tengah manusia sehingga orang-orang mengikutinya setelah dia meninggal, itu juga termasuk dari usahanya. Dalam sebuah hadits di kitab shahih disebutkan :
"Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun." [Tafsir Ibnu Katsir, surat An-Najm ; 39]


sumber : majalah Asy-Syariah no. 55/1430H/2009

Jangan Terjatuh Dua Kali [Pada Lubang yang Sama]

Ibarat laut, pasang surut keharmonisan rumah tangga adalah hal biasa. Kadang jalinan cinta begitu erat dalam jiwa. Namun ada kalanya kendur, cinta serasa hampa tak bermakna.

Saat seperti inilah, masing-masing harus cerdas dan peka. Kemudian segera mengambil sikap untuk kembali merajut asa. Jangan biarkan celah bagi syaithan untuk mengambil perannya. Agar jarak yang tadinya menganga, hilang tergantikan bahagia.

Selasa, 07 Mei 2013

Wanita Keluar Rumah Tanpa Kebutuhan

Tanya :
Banyak perempuan yang sering keluar ke pasar atau ke swalayan, baik karena suatu kebutuhan maupun tidak, misalnya sekedar jalan-jalan, atau lihat-lihat barang/cuci mata. Terkadang mereka keluar tanpa ditemani oleh laki-laki dari kalangan mahromnya atau suaminya, padahal di pasar banyak godaan. Apa nasihat anda tentang hal ini? Jazakumullohu Khoyron.


Jawab :
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab,
"Tidaklah disangsikan bahwa tetap tinggalnya wanita dirumahnya adalah lebih baik baginya, sebagaimana dalam hadits,
"Rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka." [HR. Abu Dawud no.576, dinyatakan shahih dalam Shahih Abi Dawud dan al-Misykat no. 1062]