Sabtu, 15 September 2012

Adil Terhadap Rabbul 'Alamin

Beruntunglah orang yang bersikap adil kepada Rabb-nya 'azza wa jalla.

Ia selalu menilai bahwa Rabb-nya senantiasa berbuat baik kepadanya. Jika Allah menghukumnya, dia pun meyakininya sebagai keadilan Allah terhadap dirinya yang melakukan dosa-dosa. Sedang jika Allah tidak menghukumnya, ia pun merasa betapa Allah Maha Pengampun lagi Maha Pemurah.

Hamba yang berbahagia ini akan merasa bahwa amalan shalih yang dia lakukan hanyalah merupakan karunia dari Allah. Allah-lah yang memberinya taufik untuk mengerjakan amalan tersebut. Dia merasa bahwa kekuatan, kesempatan, dan ilmu yang dia gunakan untuk beramal hanyalah dari Allah. Lantas, jika Allah membalasinya dengan pahala dan ganjaran, itu pun karunia semata dari Allah. Takkan terbersit dalam hatinya rasa 'ujub, apalagi merasa dirinya besar dan sombong.



Jika amalannya jelek pun, hamba ini merasa bahwa hal ini dikarenakan Allah meninggalkannya dan tidak menjaganya. Sebab itu, hamba ini pun merasa butuh terhadap Allah. Dia sadar akan kezaliman dirinya yang telah menyebabkan Allah menjauh darinya. Dia pun akan mengerahkan tenaganya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan tidak akan merasa Allah tidak adil dengan tidak memberinya taufik untuk beramal shalih.

Inti dari permasalahan ini adalah, ia selalu berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Sebaliknya, ia melihat dirinya selalu dipenuhi dengan sikap mengurangi hak-hak Allah. Dengan ini, dia pun selalu memperbaiki dirinya dan mendekakan diri kepada Rabb-nya. Dialah hamba yang berbahagia.



Al-Fawaid, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah.
Majalah Tashfiyah edisi 09/2011 M

Yang Dimakruhkan Dalam Sholat

Dari 'Aisyah radhiyallohu 'anha berkata :
"Saya mendengar Rosulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda : 'Tidak ada/tidak sah sholat bagi seseorang yang dikerjakan dalam keadaan makanan sudah dihidangkan dan juga bagi orang yang menahan buang air besar/kecil'."
[HR. Muslim]


Makna secara global
Didalam hadits yang telah lalu, disebutkan Rosulullah sholallohu 'alaihi wasallam menganjurkan agar menghadirkan hati ketika sholat (yang merupakan cara seorang hamba berhubungan dengan Rabb-nya), yang mana hal itu tidak mungkin bisa kecuali dengan cara memutuskan hubungan dengan seluruh kesibukan-kesibukan yang ada di luar sholat, yang bisa menyebabkan sholat itu tidak tuma'ninah dan tidak khusyu'. Maka Rosulullah melarang seseorang melaksanakan sholat ketika makanan sudah dihidangkan, yang mana dalam keadaan seperti itu, jiwa seseorang akan memikirkannya dan hatinya tergantung padanya.

Minggu, 09 September 2012

Bagaimana Engkau Menjadi Istri Shalihah ???


"Dunia adalah kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah istri yang shalihah." [HR. Muslim dan Ibnu Majah, shohih]

Seluruh wanita mengharapkan dari hati terkecilnya untuk menjadi istri shalihah, dicintai dan mencintai suaminya. Namun, bagaimanakah caranya untuk menjadi istri yang shalihat tersebut?!

Sabtu, 08 September 2012

Penghalang Terkabulnya Doa

Seseorang berkata kepada Ibrahim bin Adham rahimahullah :
"Alloh 'azza wa jalla telah berfirman dalam kitab-Nya,
'Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan doa kalian.' [QS. Al-Mu'min ; 60]
Sedangkan kami telah berdoa kepada Alloh sekian lama namun tidak juga Alloh kabulkan doa kami."

Bermudah-mudah Mengucapkan Kata Cerai

Banyak dijumpai suami yang bermudah-mudah mengucapkan kata cerai kepada istrinya walau hanya karena perkara yang remeh. Bagaimana hukum syariat terhadap permasalahan seperti ini?

Jawab :
Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz rahimahullah memberikan jawabannya, "Yang disyariatkan bagi seorang muslim adalah tidak sering-sering mengucapkan cerai bila ada pertikaian antara dia dengan istrinya, atau dalam percakapan dia dengan orang lain (misalnya dengan mengatakan kepada orang-orang, "Bila saya berbuat ini maka berarti jatuh cerai pada istri saya).

Jumat, 07 September 2012

Sekilas Tentang Nusyuz - part 2

Dalam realita yang ada, sangatlah jarang sepasang suami istri hidup selama umur mereka tanpa ditimpa berbagai masalah dan perselisihan dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk menerima terjadinya perselisihan, tetapi bukannya pasrah begitu saja atau membiarkannya, sebab perselisihan itu adalah jelek, mengeruhkan jiwa. Wajib bagi kita untuk keluar darinya dengan segala cara. Setiap penyakit itu ada obatnya dan setiap luka itu ada cara pengobatannya.

Pengobatan bagi istri yang berbuat nusyuz dilakukan secara bertahap, sebagaimana dikatakan oleh shahabat Ibnu Abbas radhiyallohu 'anhu, "Istri itu diberi mau'izhah kalau memang ia mau menerimanya. Bila tidak, ia didiamkan di tempat tidurnya, bersamaan dengan itu ia tidak diajak bicara." [Ruhul Ma'ani 5/25, Tafsir Ibnu Katsir, I/504]



Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di rahimahullah dalam tafsirnya berkata,
"Allah 'azza wa jalla berfirman, 'Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka', maksudnya mereka menarik diri dari menaati suami mereka dengan bermaksiat (tidak patuh) kepada suami, baik dengan ucapan ataupun perbuatan, maka suami hendaknya memberikan 'pengajaran' kepada si istri dengan cara yang paling mudah/ringan. Pertama, 'berilah mau'izhah kepada mereka', dengan menerangkan hukum Allah dalam perkara taat dan maksiat kepada suami, memberikan anjuran untuk taat kepada suami serta menakut-nakuti dengan akibat yang didapatkan bila bermaksiat kepada suami. Bila si istri berhenti dari perbuatannya, maka itulah yang dimaukan. Namun bila tetap terus dalam perbuatannya, dalam artian nasehat sudah tidak mempan, barulah beranjak pada tahap berikutnya, yaitu diboikot/didiamkan di tempat tidur dengan tidak mau "tidur" bersamanya, tidak meng-"gauli"-nya sekedar waktu yang dengannya tercapai maksud. Bila tidak berhasil juga, barulah pindah ke tahap selanjutnya, yaitu dipukul dengan pukulan yang tidak keras. Apabila telah tercapai tujuan (istri tidak lagi berbuat nusyuz) dengan salah satu dari beberapa tahapan diatas dan istri kembali menaati suami, 'maka tidak boleh bagi kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka', maksudnya adalah telah tercapai apa yang kalian sukai/inginkan, maka janganlah kalian mencela dan mencerca mereka dalam kesalahan-kesalahan mereka yang telah lalu, dan jangan menyelidiki/mencari-cari kesalahan yang akan ber-mudharat bila disebutkan serta menjadi sebab timbulnya kejelekan." [Taisir Karimir Rahman, hal.177]


Tahapan Pertama : Nasehat dan Pengarahan (Mau'izhah)
Nasehat teranggap sebagai upaya perbaikan yang pertama dan langkah awal yang dapat ditempuh oleh seorang suami ketika menyaksikan munculnya tabiat-tabiat nusyuz dari istrinya.
Nasehat merupakan pengobatan yang halus lagi tenang yang dapat menghilangkan sikap kasar secara kecintaan, kasih sayang dan keramahan

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
"Alloh mengancam istri dan mengingatkan kewajibannya yang telah dibebankan oleh Alloh kepadanya berupa hak suami dan ketaatan kepadanya, dosa yang akan diperolehnya dengan sikap penyelisihan dan kedurhakaan, hak-haknya yang akan gugur dengan sebab itu berupa nafkah dan pakaian, dan apa yang dibolehkan bagi suami berupa memukul serta memboikotnya." [Al-Mughni, 7/46]

Ibnu Abbas radhiyallohu 'anhu berkata,
"Itu adalah wanita yang melakukan nusyuz, meremehkan hak suami dan tidak mentaati perintahnya, maka Alloh memberikan perintah untuk menasehatinya, mengingatkannya dengan Alloh dan mengagungkan hak suami atasnya." [As Sunan Al Kubra, 7/230]


Tahapan Kedua : Pemboikotan
Terkadang nasehat dan pengarahan tidak membuahkan hasil dalam menyadarkan istri dari nusyuz, bahkan ia tetap bersikeras pada penyelewengannya sebab hawa nafsu yang mengalahkan, emosi yang tidak terkontrol, tertipu dengan kedudukan maupun harta, atau merasa angkuh sebab kecantikan atau yang lainnya.Disini datang peranan pengobatan yang kedua untuk mengekang nafsunya yang liar, yakni pemboikotan.

Pemboikotan secara bahasa artinya meninggalkan, memutus dan tidak berhubungan dengan orang yang diboikot.
Sedangkan dalam istilah para fuqaha, adalah tidak tidurnya seorang suami bersama istrinya, tidak mengajaknya berbicara selama kurang dari tiga hari, tidak berhubungan dan bergaul dengannya sekehendaknya.

Boikot adalah satu metode pendidikan bagi wanita yang mencintai suaminya dan boikot itu terasa berat atasnya.
Akan tetapi hal ini tidak terwujud dengan pisah ranjang, tidak pula dengan pisah kamar tempat berbaring, namun hanya terwujud dengan memisahi tapi tetap di satu ranjang; karena berkumpul dalam satu tempat pembaringan itulah yang akan menggugah perasaan sebagai insan yang berpasangan, sehingga jiwa masing-masing suami istri akan menjadi tenang.
Perlu diperhatikan, boikot disini adalah boikot dalam satu tempat pembaringan, bukan boikot dalam satu rumah, dan bukan pula di hadapan keluaga, anak-anak atau selainnya.

Tujuannya adalah pengobatan, bukannya menyebarluaskan, penghinaan, ataupun menyingkap rahasia dan tabir. Akan tetapi dalam rangka melawan sikap durhaka dan kesombongan dengan cara boikot.

Boikot dapat dilakukan dengan dua hal,
Boikot dengan Ucapan, yaitu seorang suami tidak mengajak bicara istrinya maksimal tiga hari. Paa ulama ber-dalil dengan hadits Abu Ayyub Al Anshari bahwa Rosulullah bersabda, 'Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari tiga malam' [Shohih Muslim 4/1984]. Jika lebih dari tiga hari, maka haram hal itu dilakukan atasnya dan dia berdosa secara kesepakatan.

Boikot dengan Perbuatan, seperti memboikotnya di tempat tidurnya, tidak menggaulinya. Boleh juga memboikotnya di lain rumah jika kemaksiatan istri demikian besar, seperti yang dilakukan oleh Nabi sholallohu 'alaihi wasallam terhadap istri-istrinya.
Terdapat dalam Tafsir Al-Qurthubi, "Alloh menjadikan bagi suami waktu selama empat bulan ketika mendidik istrinya dengan melakukan boikot."
Tidak boleh memboikot lebih dari empat bulan karena tidak ada setelah itu melainkan talak.


Tahapan Ketiga : Pukulan
Terkadang pengobatan itu membutuhkan suatu tindakan kekerasan dan ketegasan yang disengaja. Sesungguhnya pukulan disini bukanlah penghinaan maupun hukuman, bukan pula perendahan maupun penyiksaan, tetapi itu adalah pukulan pendidikan, perbaikan, pelurusan, pukulan yang disertai kasih sayang

Pukulan yang diperbolehkan secara syar'i dalam keadaan nusyuz adalah pukulan yang tidak berbekas, yaitu pukulan ringan yang tidak membuat berdarah dan tidak dikhawatirkan akan dapat melenyapkan jiwa, merusak anggota badan, merobek kulit, merusak atau membuatnya jelek.


Syubhat dan Bantahannya
Para musuh Islam mencela Islam karena mensyariatkan bolehnya memukul (istri) dan mereka mengira bahwa dalam perbuatan itu terkandung sikap penghinaan terhadap wanita serta kezhaliman.
Akan tetapi kita katakan kepada mereka, "Benar, syariat telah membolehkan untuk memukul istri, namun kapan itu dilakukan? Dan kepada siapa dilakukan?"

Itu dilakukan ketika sarana-sarana lain berupa nasehat dan boikot tidak berguna lagi dalam menghentikan istri dan mengembalikan dari kedurhakaannya. Lantas mana yang lebih baik, membiarkan istri keras kepala pada kesombongan dan penyimpangannya, lantas berakibat runtuhnya rumah tangga ataukah mengekang hawa nafsunya?

Pukulan itu pun terbatas pada tujuan yang disyariatkan, yaitu seorang suami harus yakin bahwa perbuatan itu akan berfaidah untuk menyampaikan maksud yang hendak dicapai, yakni perbaikan dan mengakhiri kecongkakan di jiwa istri yang melakukan nusyuz. Jika tidak demikian, maka hendaknya dia menahan tangannya dan tidak memukulnya sebab pukulan itu adalah sarana untuk memperbaiki keadaan istri dan sarana tidaklah disyariatkan ketika disangka tidak akan dihasilkan akibat yang dimaukan.



sumber :
- kitab An-Nusyuz karya Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan
- majalah Asy-Syariah 35/III/1428 H

Hak Pengasuhan Anak

Sepasang suami istri bercerai, sementara mereka memiliki dua anak yang masih balita. Ketika awal perceraian, kedua anak tersebut mengikuti ibunya. Namun sekrang ayahnya ingin mengambil keduanya untuk diasuhnya. Pertanyaan kami, didalam syariat Islam, siapa sebenarnya yang lebih berhak terhadap dua anak tersebut, ibunya ataukah ayahnya? Apakah ada syarat yang ditetapkan bagi pihak yang mengasuh anak tersebut? Jazakumullohu khoiron atas jawabannya.
(Ummu Fulan di bumi Alloh)



Jawab :
Istri (Ibu) adalah pihak yang paling berhak untuk mengasuh anaknya yang masih kecil apabila ia berpisah dengan suaminya. Namun sang ibu harus memenuhi beberapa syarat seperti yang ditetapkan oleh fuqaha. Bila si ibu tidak memiliki syarat yang telah ditentukan tersebut, maka gugurlah haknya untuk mengasuh anaknya.
Adapun syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut :
  1. Beragama Islam. Tidak boleh ibu yang kafir diserahi pengasuhan anak
  2. Berakal
  3. Baligh
  4. Mampu untuk mendidik dan mengurusi anak tersebut
  5. Belum menikah lagi dengan pria lain
[Zaadul Ma'ad, 4/13]

Dari kasus yang ditanyakan diatas, maka yang berhak mengasuh anak tersebut adalah ibunya selama ia belum menikah atau memenuhi syarat-syarat diatas.


Ketika ada seorang wanita mengadu kepada Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam seraya berkata, "Wahai Rasulullah, dulunya perutku menjadi tempat tinggal bagi anakku ini, air susuku menjadi minumannya, dan pangkuanku menjadi tempat meringkuknya. Ayah anak ini kemudian menceraikan aku dan dia ingin merebut anak ini dariku."

Mendengar pengaduan tersebut, Rasulullah bersabda, "Engkau lebih berhak terhadap anak ini selama engkau belum menikah." [HR. Ahmad, Abu Dawud, dan selainnya. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa' no.2187]


Al-Imam Ash-Shan'ani berkat, "Hadits ini menunjukkan apabila si ibu menikah, gugurlah hak-nya untuk mengasuh anaknya, demikian pendapat jumhur ulama."

Demikian pula jawaban yang diberikan Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh dalam Fatawa wa Rasul Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh (11/219) sebagaimana dinukilkan dalam Fatawa Al-Mar'ah, 2/874.
Wallahua'lam.



-disalin dari Majalah Asy-Syariah 02/1/September 2003-

Kamis, 06 September 2012

Mendapati Haidh/Nifas ketika sedang ber-Haji

Jika wanita ditengah perjalanannya dalam Haji tiba-tiba mendapati haidh/nifas, maka hendaklah dia meneruskan perjalanan hajinya. Bila hal itu menimpanya ketika dia sudah Ihrom, maka dia teta dalam ihrom-nya seperti wanita-wanita lain yang suci, sebabnya karena ihrom itu tidak ada syarat harus suci.

Berkata Imam Ibnu Qudamah [Al-Mughni ; 3/293-294],
"bahwasanya mandi itu disyariatkan bagi wanita ketika ihrom, sebagaimana disyariatkan pula bagi laki-laki, karena hal itu termasuk Manasik Haji dan hal itu bagi wanita haidh tentunya lebih diutamakan karena adanya riwayat-riwayat tentang hal itu."

Sekilas Tentang Nusyuz - part 1

NUSYUZ, mempunyai beberapa keadaan yang telah diterangkan oleh Allah 'azza wa jalla dalam Al-Qur'an.



Keadaan pertama : Nusyuz Istri
"Wanita-wanita yang engkau khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mantaatimu, maka janganlah engkau mencari-cari jalan untuk menyusahkannya." [QS. An-Nisaa' ; 34]

Nusyuz Istri ini bisa terjadi dengan ucapan saja, dan terkadang dengan ucapan sekaligus dengan perbuatan.

Nusyuz dengan sekedar ucapan, seperti seorang Istri tidak berucap dengan perkataan yang baik dan tidak lekas memenuhi panggilan suami ketika diajak. Dia merubah hal itu lantas berkata kepada suaminya dengan kata-kata yang kasar, dan ketika suaminya mengajaknya, dia tidak memenuhi atau memenuhinya dalam keadaan terpaksa dan bosan atau menunda dalam menjawab ajakan suami.

Juga seperti meninggikan suara terhadap suaminya, atau bercakap-cakap dengan lelaki ajnabi (asing), berhubungan dengannya lewat telepon ataupun lewat surat tanpa tujuan yang syar'i.

Terkadang si Istri sampai bertindak melampaui batas terhadap suami dengan penghinaan, cercaan, laknat, tuduhan, atau mencelanya karena aib yang ada pada diri suami, baik yang sifatnya fisik maupun maknawi.

Juga seorang istri bertindak lalim dengan lisannya mencela kerabat dan keluarga suai tanpa sebab atau memfitnah suaminya dengan ucapan yang dibuat-buat karena hendak menyulitkannya. Atau meminta cerai dari suami, meminta agar dia meng-khulu'nya, dan lain-lain.

Adapun nusyuz dengan perbuatan, seperti sikap menolak ketika diajak ke ranjang, cemberut wajahnya, menolak untuk disentuh dan dicium, menutup pintu terhadapnya, atau dia memenuhi panggilannya tetapi dalam keadaan berat lagi bosan, dan yang semisalnya.

Juga seorang istri keluar dari rumah suaminya tanpa seizin suami meskipun hanya sekedar untuk mengunjungi kedua orangtuanya. Lari dari rumah tanpa adanya alasan syar'i atau sebab yang memperbolehkannya. Enggan untuk bersafar bersamanya. Berkhianat dalam diri dan harta suami. menyingkap sesuatu dari fisiknya yang seharusnya ditutupi. Bercanda tawa dengan lelaki ajnabi, melembutkan pembicaraan bersama mereka atau berjalan dengan lelaki ajnabi dalam keadaan bersolek lagi membuka wajah.

Seorang istri tidak mau berdandan dan memakai minyak wangi ketika suami menghendakinya. Puasa sunnah tanpa seizin suaminya, melakukan ibadah-ibadah sunnah tanpa sepengetahuan dan izin sebelumnya dari suami. Meninggalkan salah satu diantara hak-hak Alloh seperti sholat, mandi janabah, puasa Ramadhan. Dalam semua keadaan ini, dia dianggap telah bermaksiat dan melakukan nusyuz.


Keadaan kedua : Nusyuz Suami
"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)." [QS. An-Nisaa' ; 128]

Gambaran akan nusyuz-nya suami :
Dia memboikot istrinya dengan tidak mengajaknya berbicara, atau berbicara padanya dengan ucapan yang kasar atau kata-kata yang tidak pantas, mencelanya karena sebuah aib yang sifatnya fisik ata maknawi, berburuk sangka terhadapnya atau tidak mengajaknya ke pembaringan.

Juga bila suami memerintahkan kemaksiatan kepadanya, memerintahkannya untuk melanggar larangan atau melakukan sesuatu yang diharomkan Alloh atasnya. Jika si istri menolak dalam keadaan seperti ini lantas suami menghukumnya, maka dosanya bagi si suami.

Terkadang pula suami berbuat laim terhadap istri dengan memukul, mencerca dan menghinakan, menahan nafkah baginya dalam makanan, minuman dan pakaian. Berpaling darinya karena penyakit yang ada pada istri. menggauli pada duburnya. Memboikotnya di ranjang, dan yang semisalnya.


Keadaan ketiga : Nusyuz dari Istri maupun Suami
"Dan jika engkau mengkhawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Alloh memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." [QS. An-Nisaa' ; 35]

Masing-masing dari suami istri tidak suka untuk bergaul bersama yang lain, sehingga masing-masing bersikap kaku terhadap pasangannya.

Nusyuz, lari, kebencian dan jeleknya pergaulan dari suami istri, mengundang kegundahan dan kegalauan. Hal ini memiliki akibat yang sangat jelek serta dampak negatif yang pengaruhnya tidak terbatas pada suami istri saja, tetapi juga berimbas hingga mengenai keluarga, anak-anak dan masyarakat.



-dinukil dari kitab 'An-Nusyuz', karya Syaikh Shalih bin Ghanim As Sadlan-

Peringatan bagi Istri yang Mengingkari Kebaikan Suami

Apabila muncul sesuatu yang tidak disukai dari suami, janganlah seorang istri mengingkari dan melupakan semua kebaikan suaminya. Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dengan keras dan telah menerangkan bahwa kufur terhadap suami dan mengingkari kebaikannya adalah salah satu sebab masuknya seorang istri ke neraka.



Pada waktu terjadi gerhana matahari di zaman Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dan beliau sholat gerhana, beliau bersabda setelahnya :
“Aku melihat surga -atau aku diperlihatkan surga- lalu aku makan setangkai anggur dari surga itu. Seandainya aku ambil tentu kalian memakannya yang tersisa dari dunia. Aku melihat neraka dan belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari itu. Aku melihat mayoritas penduduknya adalah wanita“. Para shahabat bertanya : “Mengapa demikian wahai Rosulullah?” Beliau bersabda : “Karena kekufuran mereka”. Beliau ditanya (lagi), “Apakah mereka mengingkari Alloh?” Beliau bersabda : “Mereka mengingkari suami dan kebaikannya. Andaikata engkau berbuat kebaikan pada mereka sepanjang masa kemudian ia melihat sesuatu yang tidak disenanginya darimu, ia berkata ‘aku tidak melihat kebaikan darimu sama sekali’.” [ HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallohu 'anhu ]

Mulai Kapan Anak Perempuan Diperintahkan Berhijab ?

Kaidah-kaidah syariat menetapkan bahwa perintah hijab bagi anak perempuan mulai berlaku bila mereka telah mengalami masa haidh. Demikian pula dengan perintah-perintah dan larangan-larangan lainnya.




Pendahuluan =Islam itu Indah=

Islam itu indah...,
mengajarkan banyak hal bagi kita semua.
Mulai dari ibadah-ibadah wajib seperti Sholat, Puasa, Zakat, Haji..., sampai permasalahan akhlak, hingga yang terkecil pun dibahas.

Maka, sudah semestinya kita membuka mata, hati, telinga, dan pikiran kita untuk menerima ajaran Islam secara kaffah. Tidak setengah-setengah, ambil sana sini sesuai dengan hawa nafsunya.
Mari kita belajar tentang Islam sesuai yang diajarkan oleh suri tauladan kita, Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam....

Dan bila kita ikhlas serta bersungguh-sungguh dalam belajar tentang Islam, insyaAllah kita akan mendapati kalau agama ini tidaklah berat, tidaklah se-kaku yang kita bayangkan.
Tapi justru Indah...., karena tidaklah Allah membuat sebuah syariat, dimana pastilah syariat itu akan bermanfaat bagi makhluk-Nya.

Semoga apa yang ada dalam bLog ini bisa bermanfaat bagi semua, aamiin...,