Beruntunglah orang yang bersikap adil kepada Rabb-nya 'azza wa jalla.
Ia selalu menilai bahwa Rabb-nya senantiasa berbuat baik kepadanya. Jika Allah menghukumnya, dia pun meyakininya sebagai keadilan Allah terhadap dirinya yang melakukan dosa-dosa. Sedang jika Allah tidak menghukumnya, ia pun merasa betapa Allah Maha Pengampun lagi Maha Pemurah.
Hamba yang berbahagia ini akan merasa bahwa amalan shalih yang dia lakukan hanyalah merupakan karunia dari Allah. Allah-lah yang memberinya taufik untuk mengerjakan amalan tersebut. Dia merasa bahwa kekuatan, kesempatan, dan ilmu yang dia gunakan untuk beramal hanyalah dari Allah. Lantas, jika Allah membalasinya dengan pahala dan ganjaran, itu pun karunia semata dari Allah. Takkan terbersit dalam hatinya rasa 'ujub, apalagi merasa dirinya besar dan sombong.
Jika amalannya jelek pun, hamba ini merasa bahwa hal ini dikarenakan Allah meninggalkannya dan tidak menjaganya. Sebab itu, hamba ini pun merasa butuh terhadap Allah. Dia sadar akan kezaliman dirinya yang telah menyebabkan Allah menjauh darinya. Dia pun akan mengerahkan tenaganya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan tidak akan merasa Allah tidak adil dengan tidak memberinya taufik untuk beramal shalih.
Inti dari permasalahan ini adalah, ia selalu berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Sebaliknya, ia melihat dirinya selalu dipenuhi dengan sikap mengurangi hak-hak Allah. Dengan ini, dia pun selalu memperbaiki dirinya dan mendekakan diri kepada Rabb-nya. Dialah hamba yang berbahagia.
Al-Fawaid, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah.
Majalah Tashfiyah edisi 09/2011 M