Banyak dijumpai suami yang bermudah-mudah mengucapkan kata cerai kepada istrinya walau hanya karena perkara yang remeh. Bagaimana hukum syariat terhadap permasalahan seperti ini?
Jawab :
Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz rahimahullah memberikan jawabannya, "Yang disyariatkan bagi seorang muslim adalah tidak sering-sering mengucapkan cerai bila ada pertikaian antara dia dengan istrinya, atau dalam percakapan dia dengan orang lain (misalnya dengan mengatakan kepada orang-orang, "Bila saya berbuat ini maka berarti jatuh cerai pada istri saya).
Karena Nabi sholallohu 'alaihi wasallam bersabda :
"Perkara halal yang paling dibenci Alloh adalah talak."
[HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan lain-lain. Hadits ini lemah/dhaif sebagaimana diterangkan Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa' no.2040]
Juga karena banyak mengucapkan talak akan berdampak buruk.
Talak dibolehkan ketika ada kebutuhan. Bahkan terkadang mustahab bila ada maslahat atau akan timbul kemudharatan yang bsar bila istri tetap dipertahankan.
Yang diajarkan oleh As-Sunnah adalah bila terpaksa talak, maka yang dijatuhkan awalnya talak satu, sehingga masih memungkinkan bagi keduanya untuk rujuk bila memang diinginkan selama si istri masih dalam masa 'iddah atau dengan akad nikah yang baru bila masa 'iddah telah berakhir.
Talak dijatuhkan seorang suami dalam keadaan istrinya hamil atau dalam keadaan suci yang dalam masa suci tersebut ia (suami) belum menggaulinya. Adapun bila si istri sedang haidh, maka tidak boleh dijatuhkan talak. Karena Nabi sholallohu 'alaihi wasallam pernah memerintahkan Ibnu Umar radhiyallohu 'anhu untuk kembali kepada istrinya yang ditalaknya dalam keadaan haidh.
Ketika itu Ibnu Umar diperintahkan menahan si istri sampai suci dari haidh-nya tersebut. kemudian datang haidh berikutnya sampai suci lagi, setelah itu ia boleh mentalaknya bila mau, namun dengan ketentuan ia sama sekali belum menggaulinya di masa suci tersebut.
Nabi sholallohu 'alaihi wasallam mengaakan kepada Ibnu Umar, "Itulah 'iddah yang Alloh perintah untuk menceraikan istri dalam masa tersebut."
Dalam lafadz lain yang diriwayatkan Imam Muslim, disebutkan bahwa Nabi sholallohu 'alaihi wasallam berkata kepada Umar radhiyallohu 'anhu :
"Perintahkan dia (yaitu putra Umar, Abdullah) agar merujuk istrinya, kemudian setelah itu ia boleh mentalaknya dalam kedaan suci atau dalam keadaan hamil."
Tidak boleh seorang suami menceraikan istrinya yang sedang haidh atau nifas, atau di masa sucinya dimana ia telah menggaulinya. Adapun terhadap istri yang sedang hamil atau telah berhenti haidh (menopause), tidak terlarang menjatuhkan talak atasnya berdasarkan hadits Ibnu Umar yang telah disebutkan. Ini merupakan tafsir terhadap firman Alloh :
"Wahai Nabi, apabila kalian mentalak para istri kalian, maka talaklah mereka di masa mereka dapat menghadapi 'iddah mereka." [QS. Ath-Thalaq ; 1]
Tidak boleh pula langsung menjatuhkan talak tiga pada istri dengan satu kalimat atau dalam satu kesempatan (misalkan, "Aku mentalakmu dengan talak tiga"), berdasarkan hadits yang diriwayatkan An-Nasa'i dengan sanad yang hasan. Dari Mahmud ibnu Labid, bahwasanya sampai kepada Nabi sholallohu 'alaihi wasallam berita adanya seseorang yang langsung menjatuhkan talak tiga kepada istrinya. maka beliau bangkit dalam keadaan marah dan bersabda :
"Apakah Kitabullah dipermainkan sementara aku masih berada di antara kalian (masih hidup) ?" [Hadits ini dilemahkan Syaikh Al-Albani dalam Dha'if Ibni Majah no.3401 dan Al-Misykat no.3292]
Juga berdasarkan hadits didalam Shahihain (dua kitab shahih) dari Ibnu Umar, ia berkata kepada orang yang langsung menjatuhkan talak tiga kepada istrinya :
"Sungguh engkau telah bermaksiat kepada Rabbmu dalam perkara yang diperintahkan-Nya kepadamu dalam urusan mentalak istrimu." [HR. Bukhari dan Muslim]
Allohul muwaffiq. [Al Fatawa, Kitabud Da'wah, 92/234,244]
-majalah Asy Syariah no.48/1430 H/2009
Jawab :
Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz rahimahullah memberikan jawabannya, "Yang disyariatkan bagi seorang muslim adalah tidak sering-sering mengucapkan cerai bila ada pertikaian antara dia dengan istrinya, atau dalam percakapan dia dengan orang lain (misalnya dengan mengatakan kepada orang-orang, "Bila saya berbuat ini maka berarti jatuh cerai pada istri saya).
Karena Nabi sholallohu 'alaihi wasallam bersabda :
"Perkara halal yang paling dibenci Alloh adalah talak."
[HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan lain-lain. Hadits ini lemah/dhaif sebagaimana diterangkan Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa' no.2040]
Juga karena banyak mengucapkan talak akan berdampak buruk.
Talak dibolehkan ketika ada kebutuhan. Bahkan terkadang mustahab bila ada maslahat atau akan timbul kemudharatan yang bsar bila istri tetap dipertahankan.
Yang diajarkan oleh As-Sunnah adalah bila terpaksa talak, maka yang dijatuhkan awalnya talak satu, sehingga masih memungkinkan bagi keduanya untuk rujuk bila memang diinginkan selama si istri masih dalam masa 'iddah atau dengan akad nikah yang baru bila masa 'iddah telah berakhir.
Talak dijatuhkan seorang suami dalam keadaan istrinya hamil atau dalam keadaan suci yang dalam masa suci tersebut ia (suami) belum menggaulinya. Adapun bila si istri sedang haidh, maka tidak boleh dijatuhkan talak. Karena Nabi sholallohu 'alaihi wasallam pernah memerintahkan Ibnu Umar radhiyallohu 'anhu untuk kembali kepada istrinya yang ditalaknya dalam keadaan haidh.
Ketika itu Ibnu Umar diperintahkan menahan si istri sampai suci dari haidh-nya tersebut. kemudian datang haidh berikutnya sampai suci lagi, setelah itu ia boleh mentalaknya bila mau, namun dengan ketentuan ia sama sekali belum menggaulinya di masa suci tersebut.
Nabi sholallohu 'alaihi wasallam mengaakan kepada Ibnu Umar, "Itulah 'iddah yang Alloh perintah untuk menceraikan istri dalam masa tersebut."
Dalam lafadz lain yang diriwayatkan Imam Muslim, disebutkan bahwa Nabi sholallohu 'alaihi wasallam berkata kepada Umar radhiyallohu 'anhu :
"Perintahkan dia (yaitu putra Umar, Abdullah) agar merujuk istrinya, kemudian setelah itu ia boleh mentalaknya dalam kedaan suci atau dalam keadaan hamil."
Tidak boleh seorang suami menceraikan istrinya yang sedang haidh atau nifas, atau di masa sucinya dimana ia telah menggaulinya. Adapun terhadap istri yang sedang hamil atau telah berhenti haidh (menopause), tidak terlarang menjatuhkan talak atasnya berdasarkan hadits Ibnu Umar yang telah disebutkan. Ini merupakan tafsir terhadap firman Alloh :
"Wahai Nabi, apabila kalian mentalak para istri kalian, maka talaklah mereka di masa mereka dapat menghadapi 'iddah mereka." [QS. Ath-Thalaq ; 1]
Tidak boleh pula langsung menjatuhkan talak tiga pada istri dengan satu kalimat atau dalam satu kesempatan (misalkan, "Aku mentalakmu dengan talak tiga"), berdasarkan hadits yang diriwayatkan An-Nasa'i dengan sanad yang hasan. Dari Mahmud ibnu Labid, bahwasanya sampai kepada Nabi sholallohu 'alaihi wasallam berita adanya seseorang yang langsung menjatuhkan talak tiga kepada istrinya. maka beliau bangkit dalam keadaan marah dan bersabda :
"Apakah Kitabullah dipermainkan sementara aku masih berada di antara kalian (masih hidup) ?" [Hadits ini dilemahkan Syaikh Al-Albani dalam Dha'if Ibni Majah no.3401 dan Al-Misykat no.3292]
Juga berdasarkan hadits didalam Shahihain (dua kitab shahih) dari Ibnu Umar, ia berkata kepada orang yang langsung menjatuhkan talak tiga kepada istrinya :
"Sungguh engkau telah bermaksiat kepada Rabbmu dalam perkara yang diperintahkan-Nya kepadamu dalam urusan mentalak istrimu." [HR. Bukhari dan Muslim]
Allohul muwaffiq. [Al Fatawa, Kitabud Da'wah, 92/234,244]
-majalah Asy Syariah no.48/1430 H/2009