Selasa, 24 Maret 2015

Agar Bahtera Selamat Sampai Tujuan - part 3

Tidaklah yang dimaksudkan dengan mencintai istri adalah membiasakan istri hidup sebagai "nyonya besar" yang hanya bisa memerintah dan bermalas-malasan. Wanita yang menghabiskan siangnya dengan tidur dan di malam hari begadang, pindah dari satu restoran ke restoran lain, nongkrong di cafe, melancong dari satu tempat ke tempat lain, shopping atau sekedar jalan-jalan ke mall, tidak pernah masak, tidak pernah membersihkan rumah, tidak ada perhatian terhadap suami dan anak-anak, serta tidak peduli dengan keadaan rumah. Kalau seperti ini keadaan seorang istri, lalu untuk apa seseorang menikah? Apa sekedar simbol saja bahwa ia sudah berstatus menikah?


Suami memikul tanggung jawab yang besar apabila membiasakan atau membiarkan istrinya berada di atas jalan yang jelek tersebut, kelak ia akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Maka dari itu, sebelum semuanya terlambat hendaknya ia "membenahi" istrinya.

Jadi, cinta tidak berarti memanjakan istri dengan dunia dan mempersilahkannya berbuat semaunya. Tetapi cinta adalah membimbing tangannya dan mengarahkannya kepada kebaikan dengan penuh kelembutan.

Suami tidak boleh menganggap enteng apabila istrinya berbuat dosa atau melakukan sesuatu yang tercela dalam kebiasaan manusia. Jangan ia berdalih dengan kata "kasihan" untuk memperingatkan istrinya dari perbuatan salah atau menyimpang. Bahkan, apabila perlu, ia memberikan hukuman yang mendidik.

Minggu, 22 Maret 2015

Hakikat Cinta kepada Allah

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata,
"Ketahuilah, engkau tidak dianggap mencintai Rabbmu hingga engkau mencintai ketaatan kepada-Nya."

Dzun Nun rahimahullah ditanya, "Kapankah aku dikatakan mencintai Rabbku?" Beliau menjawab, "Seseorang dianggap mencintai Allah apabila ia bersabar terhadap hal-hal yang dibenci-Nya."

Yahya bin Mu'adz rahimahullah berkata,
"Orang yang mengaku mencintai Allah, tetapi tidak menjaga batasan-batasanNya, bukanlah orang yang jujur."



[Jami'ul 'Ulum wal Hikam, hlm.104, cet. Darul 'Aqidah]

Kamis, 19 Maret 2015

Agar Bahtera Selamat Sampai Tujuan - part 2

Istri shalehah adalah yang tahu besarnya kadar suaminya dan besarnya hak suami terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia tidak henti-hentinya mencurahkan upaya guna memberikan kelapangan dan kebahagiaan bagi suaminya.
Renungkanlah sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam,
"Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya." [HR. Ahmad 4/381, dinyatakan shahih dalam Irwa'ul Ghalil no.1998 dan ash-Shahihah no.3366]




Selasa, 17 Maret 2015

Agar Bahtera Selamat Sampai Tujuan - part 1

Rumah tangga yang dibina bisa saja kandas di tengah jalan apabila suami istri tidak pandai mengantisipasi problem yang muncul menghadang perjalanannya.
Karena problem pasti akan datang, tinggal setiap pihak perlu tahu perkara apa saja yang dapat memicunya, yang dapat merusak hubungan keduanya, dan bagaimana sikap yang tepat saat ada masalah.

Membanding-bandingkan keadaan diri atau pasangan hidup dengan orang lain termasuk sebab terbesar yang merusak kehidupan rumah tangga. Bisa jadi, sikap ini datang dari pihak suami. Tergambar pada dirinya sosok wanita lain yang punya kelebihan yang tidak didapatkan pada istrinya. Padahal apabila ia melihat hakikatnya, bisa jadi ia dapati istrinya memiliki sifat-sifat yang puluhan wanita tidak mampu memilikinya.

Akan tetapi, memang jiwa itu selalu berhasrat untuk beroleh sesuatu yang jauh, yang dalam anggapannya terkumpul berbagai sifat kebagusan yang tidak ada pada apa yang telah dimilikinya. 

Ibarat rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri. Kenyataannya, tidak lain hanya fatamorgana.

Senin, 16 Maret 2015

Janganlah Kalian Mengharap Dunia dengan Amalan Akhirat


Termasuk bahaya besar apabila seorang hamba mengamalkan suatu amalan sholih dalam rangka mengharap harta benda dunia. Amalan ini adalah bentuk kesyirikan yang menafikan kesempurnaan tauhid yang wajib dan menggugurkan amalan. Perbuatan ini lebih besar daripada riya', sebab orang yang menginginkan dunia keinginannya selalu mengalahkan (menyertai) mayoritas amalannya. Adapun riya', hanya muncul pada sebagian amalan saja, tidak terus-menerus menyertainya. Sedangkan seorang mukmin, akan senantiasa waspada dari ini dan itu.

Adapun perbedaan antara riya' dengan keinginan seseorang untuk mendapatkan dunia dengan amalnya, yaitu antara keduanya memiliki keumuman dan kekhususan mutlak yang keduanya akan berkumpul pada diri seseorang apabila dia melakukan amalan, agar nampak indah di hati hadapan manusia, agar mereka melihatnya, mengagungkan dan memujinya. Yang seperti ini namanya riya', demikian juga termasuk mengharapkan dunia, sebab dia beramal ketika di sisi manusia dan mengharap agar mereka memuliakan, memuji dan menyanjungnya.