Kamis, 19 Maret 2015

Agar Bahtera Selamat Sampai Tujuan - part 2

Istri shalehah adalah yang tahu besarnya kadar suaminya dan besarnya hak suami terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia tidak henti-hentinya mencurahkan upaya guna memberikan kelapangan dan kebahagiaan bagi suaminya.
Renungkanlah sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam,
"Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya." [HR. Ahmad 4/381, dinyatakan shahih dalam Irwa'ul Ghalil no.1998 dan ash-Shahihah no.3366]




Demikian pula sabda beliau,
"Tidak pantas seorang manusia sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas seorang manusia sujud kepada yang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya pada telapak kaki suaminya sampai ke belahan rambutnya ada luka yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadapi luka-luka tersebut lalu menjilatinya, niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya." [HR. Ahmad 3/159, dinyatakan shahih oleh al-Haitsami 4/9, al-Mundziri 3/55, dan Abu Nu'aim dalam ad-Dala'il no.137]

Hadits ini adalah keterangan yang paling agung tentang besarnya hak suami terhadap istrinya. Yang mengherankan adalah apabila ada istri yang melewati dalil ini, namun ia tidak berhenti di hadapannya dengan merenungkannya dan merasa takut apabila tidak mengamalkan tuntutannya!

Wajib bagi istri membaguskan pergaulannya dengan suaminya. Ia menjaga rahasianya. Ia menjaga hartanya karena ia diamanati oleh suaminya. Janganlah ia membuka penutup tubuhnya (hijabnya) di hadapan lelaki selain suaminya. Ia mendidik anak-anaknya agar hormat terhadap ayah mereka. Janganlah ia bersifat kaku. Apabila suaminya membantunya dalam pekerjaannya atau memberinya hadiah misalnya, hendaklah ia mensyukuri apa yang dilakukan oleh suaminya. Ia puji suaminya dengan kebaikan dan jangan ia cela apa yang diberikan oleh suaminya. Jangan menganggap jelek apa yang dilakukan oleh suami untuknya dan anak-anaknya. Selain itu, wajib bagi istri mencari sisi-sisi yang mengundang ridha suami, lalu ia bersegera melakukannya.

Istri hendaklah menjadi penolong suami dalam hal menjaga iffah (kehormatan diri) dan menghalanginya dari godaan. Oleh karena itu, ia tidak boleh meninggalkan tempat tidur suaminya dan "menghalangi dirinya" dari suaminya.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri tidak mendatangi suaminya, lalu si suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, niscaya para malaikat akan melaknat si istri sampai pagi hari." [HR. Bukhari no.5193 dan Muslim no.3526]

Hendaklah istri berteman dengan suaminya di dunia dengan cara yang ma'ruf. Hendaknya ia melakukan apa yang dicintai oleh suaminya walaupun ia sendiri tidak menyukainya. Hendaknya ia menjauhi segala sesuatu yang tidak disukai oleh suaminya walaupun ia sendiri sebenarnya menyenanginya, demi mengharapkan pahala dari Allah dan menghadirkan rasa bahwa suaminya adalah tamu di sisinya yang hampir-hampir pergi meninggalkannya, sehingga ia tidak mau menyakitinya dengan ucapan atau perbuatan.

Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istri suaminya dari kalangan hurun'in akan mengatakan, 'Jangan engkau sakiti dirinya, qatalakillah! Karena dia hanya tamu di sisimu dan sekedar singgah. Hampir-hampir ia akan berpisah denganmu untuk bertemu kami'." [HR. at-Tirmidzi no.1174 dan Ibnu Majah no.204, dinyatakan shahih dalam Shahih at-Tirmidzi]

Hendaklah seorang wanita mengetahui bahwa istri yang paling utama adalah yang selalu menganggap besar apa yang dilakukan oleh suaminya kepadanya walaupun sebenarnya kecil. Ia menyebut-nyebut suaminya di hadapan banyak orang dengan kebaikan walaupun sebenarnya suaminya kurang memenuhi haknya. Hendaknya ia yakin bahwa dengan berbuat demikian, kesudahan yang baik akan kembali kepadanya.

Istri harus bersih hatinya terhadap suaminya, walaupun mungkin suami kurang memenuhi haknya. Kalaupun suatu saat ia bermaksud menyampaikan kekurangan tersebut, maka dilakukannya dengan perlahan dan santun tanpa menyakiti suaminya, dengan mencari waktu yang tepat, di saat kosong pikiran dan dada lapang. Karena maksudnya menyampaikan bukanlah untuk mendebat suami atau menjadikannya lawan, tapi maksudnya adalah terlaksananya tujuan dan berbuah apa yang diinginkan.

Adapun suami, ia harus menjadi seorang yang penuh kasih sayang kepada istrinya. Ia syukuri apa yang dilakukan oleh istrinya untuknya, berupa melayaninya di rumah, menjaga anak-anaknya, serta menyimpan rahasianya. Hendaklah ia membantu istrinya dalam melakukan tugas-tugas tersebut dan membesarkannya di hadapan anak-anak, memujinya dengan kebaikan, memberikan nafkah kepadanya dengan nafkah yang membuatnya tidak lagi meminta kepada yang lain, apabila memang suami memiliki kelapangan. a tidak mencela istrinya dengan celaan yang melukai rasa malunya dan perasaannya sebagai perempuan, atau menyifatinya dengan sifat yang buruk.

Nabi shalallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya,
"Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami dari suaminya?" Rasulullah menjawab, "Engkau beri makan istrimu jika engkau makan dan engkau beri pakaian jika engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau menjelekkannya, dan jangan menghajr/memboikotnya kecuali dalam rumah." [HR. Abu Dawud no.2142, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami'ush Shahih, 3/86]

Suami hendaknya menyadari bahwa kemuliaan istri adalah kemuliaannya juga, maka alangkah anehnya jika dia justru menghina istrinya?!

Wajib bagi suami membaguskan pergaulannya dengan istrinya. Ia menegakkan istrinya di atas ketaatan kepada Allah, mencegah dari istrinya seluruh ucapan dan perbuatan yang bisa mencacati rasa malunya, baik ucapan/perbuatan yang didengar maupun yang dilihat, karena istrinya akan menjadi pendidik bagi anak-anaknya, akan menjadi contoh bagi putri-putrinya, dan sebagai pembimbing bagi anak-anaknya di saat suami tidak ada. Istri-lah yang paling sering bergaul dengan anak-anak karena suami tersibukkan dengan mencari penghidupan.

Seharusnya, suami memuliakan istrinya di hadapan anak-anaknya sehingga mereka segan kepada ibunya dan menghormatinya. Apabila ia sampai "menjatuhkan" ibunya didepan mereka, mereka akan mendurhakai ibunya. Apabila hal itu terjadi, anak-anak akan bertindak-tanduk yang buruk saat ayahnya tidak dirumah, karena tidak ada orang yang mereka takuti.

Suami harus berlaku lembut dalam memberikan pengajaran dan pengarahan kepada istrinya, tidak keras dan kaku, atau dengan marah, atau dengan penghinaan.
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya." [HR. Tirmidzi no.1172, dinyatakan hasan dalam ash-Shahihul Musnad 2/336-337]

Beliau juga berkata tentang diri beliau sebagai teladan bagi para suami,
"Aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap istri-istriku." [HR. Tirmidzi, dinyatakan shahih dalam ash-Shahihah no.285]

to be CONTINUED



sumber bacaan : majalah asy-Syariah no.80/1433H/2012