Jumat, 07 September 2012

Sekilas Tentang Nusyuz - part 2

Dalam realita yang ada, sangatlah jarang sepasang suami istri hidup selama umur mereka tanpa ditimpa berbagai masalah dan perselisihan dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk menerima terjadinya perselisihan, tetapi bukannya pasrah begitu saja atau membiarkannya, sebab perselisihan itu adalah jelek, mengeruhkan jiwa. Wajib bagi kita untuk keluar darinya dengan segala cara. Setiap penyakit itu ada obatnya dan setiap luka itu ada cara pengobatannya.

Pengobatan bagi istri yang berbuat nusyuz dilakukan secara bertahap, sebagaimana dikatakan oleh shahabat Ibnu Abbas radhiyallohu 'anhu, "Istri itu diberi mau'izhah kalau memang ia mau menerimanya. Bila tidak, ia didiamkan di tempat tidurnya, bersamaan dengan itu ia tidak diajak bicara." [Ruhul Ma'ani 5/25, Tafsir Ibnu Katsir, I/504]



Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di rahimahullah dalam tafsirnya berkata,
"Allah 'azza wa jalla berfirman, 'Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka', maksudnya mereka menarik diri dari menaati suami mereka dengan bermaksiat (tidak patuh) kepada suami, baik dengan ucapan ataupun perbuatan, maka suami hendaknya memberikan 'pengajaran' kepada si istri dengan cara yang paling mudah/ringan. Pertama, 'berilah mau'izhah kepada mereka', dengan menerangkan hukum Allah dalam perkara taat dan maksiat kepada suami, memberikan anjuran untuk taat kepada suami serta menakut-nakuti dengan akibat yang didapatkan bila bermaksiat kepada suami. Bila si istri berhenti dari perbuatannya, maka itulah yang dimaukan. Namun bila tetap terus dalam perbuatannya, dalam artian nasehat sudah tidak mempan, barulah beranjak pada tahap berikutnya, yaitu diboikot/didiamkan di tempat tidur dengan tidak mau "tidur" bersamanya, tidak meng-"gauli"-nya sekedar waktu yang dengannya tercapai maksud. Bila tidak berhasil juga, barulah pindah ke tahap selanjutnya, yaitu dipukul dengan pukulan yang tidak keras. Apabila telah tercapai tujuan (istri tidak lagi berbuat nusyuz) dengan salah satu dari beberapa tahapan diatas dan istri kembali menaati suami, 'maka tidak boleh bagi kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka', maksudnya adalah telah tercapai apa yang kalian sukai/inginkan, maka janganlah kalian mencela dan mencerca mereka dalam kesalahan-kesalahan mereka yang telah lalu, dan jangan menyelidiki/mencari-cari kesalahan yang akan ber-mudharat bila disebutkan serta menjadi sebab timbulnya kejelekan." [Taisir Karimir Rahman, hal.177]


Tahapan Pertama : Nasehat dan Pengarahan (Mau'izhah)
Nasehat teranggap sebagai upaya perbaikan yang pertama dan langkah awal yang dapat ditempuh oleh seorang suami ketika menyaksikan munculnya tabiat-tabiat nusyuz dari istrinya.
Nasehat merupakan pengobatan yang halus lagi tenang yang dapat menghilangkan sikap kasar secara kecintaan, kasih sayang dan keramahan

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
"Alloh mengancam istri dan mengingatkan kewajibannya yang telah dibebankan oleh Alloh kepadanya berupa hak suami dan ketaatan kepadanya, dosa yang akan diperolehnya dengan sikap penyelisihan dan kedurhakaan, hak-haknya yang akan gugur dengan sebab itu berupa nafkah dan pakaian, dan apa yang dibolehkan bagi suami berupa memukul serta memboikotnya." [Al-Mughni, 7/46]

Ibnu Abbas radhiyallohu 'anhu berkata,
"Itu adalah wanita yang melakukan nusyuz, meremehkan hak suami dan tidak mentaati perintahnya, maka Alloh memberikan perintah untuk menasehatinya, mengingatkannya dengan Alloh dan mengagungkan hak suami atasnya." [As Sunan Al Kubra, 7/230]


Tahapan Kedua : Pemboikotan
Terkadang nasehat dan pengarahan tidak membuahkan hasil dalam menyadarkan istri dari nusyuz, bahkan ia tetap bersikeras pada penyelewengannya sebab hawa nafsu yang mengalahkan, emosi yang tidak terkontrol, tertipu dengan kedudukan maupun harta, atau merasa angkuh sebab kecantikan atau yang lainnya.Disini datang peranan pengobatan yang kedua untuk mengekang nafsunya yang liar, yakni pemboikotan.

Pemboikotan secara bahasa artinya meninggalkan, memutus dan tidak berhubungan dengan orang yang diboikot.
Sedangkan dalam istilah para fuqaha, adalah tidak tidurnya seorang suami bersama istrinya, tidak mengajaknya berbicara selama kurang dari tiga hari, tidak berhubungan dan bergaul dengannya sekehendaknya.

Boikot adalah satu metode pendidikan bagi wanita yang mencintai suaminya dan boikot itu terasa berat atasnya.
Akan tetapi hal ini tidak terwujud dengan pisah ranjang, tidak pula dengan pisah kamar tempat berbaring, namun hanya terwujud dengan memisahi tapi tetap di satu ranjang; karena berkumpul dalam satu tempat pembaringan itulah yang akan menggugah perasaan sebagai insan yang berpasangan, sehingga jiwa masing-masing suami istri akan menjadi tenang.
Perlu diperhatikan, boikot disini adalah boikot dalam satu tempat pembaringan, bukan boikot dalam satu rumah, dan bukan pula di hadapan keluaga, anak-anak atau selainnya.

Tujuannya adalah pengobatan, bukannya menyebarluaskan, penghinaan, ataupun menyingkap rahasia dan tabir. Akan tetapi dalam rangka melawan sikap durhaka dan kesombongan dengan cara boikot.

Boikot dapat dilakukan dengan dua hal,
Boikot dengan Ucapan, yaitu seorang suami tidak mengajak bicara istrinya maksimal tiga hari. Paa ulama ber-dalil dengan hadits Abu Ayyub Al Anshari bahwa Rosulullah bersabda, 'Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari tiga malam' [Shohih Muslim 4/1984]. Jika lebih dari tiga hari, maka haram hal itu dilakukan atasnya dan dia berdosa secara kesepakatan.

Boikot dengan Perbuatan, seperti memboikotnya di tempat tidurnya, tidak menggaulinya. Boleh juga memboikotnya di lain rumah jika kemaksiatan istri demikian besar, seperti yang dilakukan oleh Nabi sholallohu 'alaihi wasallam terhadap istri-istrinya.
Terdapat dalam Tafsir Al-Qurthubi, "Alloh menjadikan bagi suami waktu selama empat bulan ketika mendidik istrinya dengan melakukan boikot."
Tidak boleh memboikot lebih dari empat bulan karena tidak ada setelah itu melainkan talak.


Tahapan Ketiga : Pukulan
Terkadang pengobatan itu membutuhkan suatu tindakan kekerasan dan ketegasan yang disengaja. Sesungguhnya pukulan disini bukanlah penghinaan maupun hukuman, bukan pula perendahan maupun penyiksaan, tetapi itu adalah pukulan pendidikan, perbaikan, pelurusan, pukulan yang disertai kasih sayang

Pukulan yang diperbolehkan secara syar'i dalam keadaan nusyuz adalah pukulan yang tidak berbekas, yaitu pukulan ringan yang tidak membuat berdarah dan tidak dikhawatirkan akan dapat melenyapkan jiwa, merusak anggota badan, merobek kulit, merusak atau membuatnya jelek.


Syubhat dan Bantahannya
Para musuh Islam mencela Islam karena mensyariatkan bolehnya memukul (istri) dan mereka mengira bahwa dalam perbuatan itu terkandung sikap penghinaan terhadap wanita serta kezhaliman.
Akan tetapi kita katakan kepada mereka, "Benar, syariat telah membolehkan untuk memukul istri, namun kapan itu dilakukan? Dan kepada siapa dilakukan?"

Itu dilakukan ketika sarana-sarana lain berupa nasehat dan boikot tidak berguna lagi dalam menghentikan istri dan mengembalikan dari kedurhakaannya. Lantas mana yang lebih baik, membiarkan istri keras kepala pada kesombongan dan penyimpangannya, lantas berakibat runtuhnya rumah tangga ataukah mengekang hawa nafsunya?

Pukulan itu pun terbatas pada tujuan yang disyariatkan, yaitu seorang suami harus yakin bahwa perbuatan itu akan berfaidah untuk menyampaikan maksud yang hendak dicapai, yakni perbaikan dan mengakhiri kecongkakan di jiwa istri yang melakukan nusyuz. Jika tidak demikian, maka hendaknya dia menahan tangannya dan tidak memukulnya sebab pukulan itu adalah sarana untuk memperbaiki keadaan istri dan sarana tidaklah disyariatkan ketika disangka tidak akan dihasilkan akibat yang dimaukan.



sumber :
- kitab An-Nusyuz karya Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan
- majalah Asy-Syariah 35/III/1428 H