Senin, 29 Juli 2013

MAHROM....., Siapa Sajakah Mereka ?!

Ada beberapa pertanyaan yang masuk seputar permasalahan Muhrim, -demikian para penanya menyebutnya-, padahal yang mereka maksud adalah Mahrom.
Perlu diluruskan bahwa Muhrim dalam bahasa Arab (mim-nya di-dhommah), maknanya adalah orang yang ber-ihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan Mahrom dalam bahasa Arab, mim-nya di-fathah.


Mahrom dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). Di sisi lain, lelaki ini boleh melakukan safar bersamanya, boleh boncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari hukum-hukum mahrom.

Mereka kita bagi menjadi tiga kelompok. Yang pertama, mahrom karena nasab (keturunan), kedua karena penyusuan, dan ketiga mahrom mushaharah (kekeluargaan karena pernikahan).

Kelompok pertama, Mahrom karena nasab, ada tujuh golongan :
1. Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
2. Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
3. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu.
4. Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orangtua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu.
5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orangtua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu.
6. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
7. Putri saudara laki-laki (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.

Mereka inilah yang dimaksudkan Alloh,
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan..." [QS. An-Nisaa' ; 23]


Kelompok kedua juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahrom yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja disini sebabnya adalah penyusuan. Dua diantaranya telah disebutkan Alloh,
"Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan." [QS. An-Nisaa' ; 23]

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahrom bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan milik dia melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suaminya menjadi mahrom bagi anak susuan tersebut (ini adalah pendapat jumhur dan ini yang rajih. Lihat Syarah Shahih Muslim 10/18).

Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti masuk di dalamnya anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, begitu pula dua anak yang disusui oleh wanita yang sama, maka ayat ini dan hadits yang marfu',
"Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena penyusuan." [Muttafaqun'alaih dari Ibnu Abbas radhiyallohu 'anhu]

Keduanya menunjukkan tersebarnya hubungan mahrom dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Maka ibu dari orangtua susu misalnya, adalah mahrom sebagai nenek karena susuan dan seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orangtua susu adalah mahrom sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orangtua susu adalah mahrom sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah.

Saudara dari orangtua susu adalah mahrom sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ibu dari orangtua susu adalah mahrom sebagai bibi orangtua susu dan seterusnya ke atas.

Adapun dari pihak anak yang menyusu, maka hubungan mahrom itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Maka seluruh anak keturunan dia, berupa anak, cucu dan seterusnya ke bawah adalah mahrom bagi ayah dan ibu susunya.

Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa'di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullah, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan firman Alloh,
"Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya." [QS. Al-Baqarah ; 233]

Dan hadits 'Aisyah radhiyallohu 'anha [muttafaqun'alaih] menerangkan bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa suatu penyusuan tidaklah mengharamkan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.

Dan yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan, setiap penyusuan bentuknya adalah bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan (meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali).


Adapun kelompok ketiga, maka jumlahnya 4 golongan sebagai berikut :
1. Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisaa' ayat 22
2. Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisaa' ayat 23
3. Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisaa' ayat 23
4. Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah), cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib (anak lelaki istri dari suami lain), dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisaa' ayat 23

Golongan 1,2, dan 3 menjadi mahrom hanya dengan sekedar akad yang sah meskipun belum melakukan jima' (hubungan suami istri), adapun golongan ke-4 maka dipersyaratkan terjadinya jima' bersama dengan akad yang sah. Dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya, menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.

Dan mereka tetap sebagai mahrom meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati. Maka istri bapak misalnya, tetap sebagai mahrom meskipun dicerai atau ditinggal mati. Rabibah misalnya, tetap merupakan mahrom meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan, dan seterusnya.

Selain dari apa yang disebutkan diatas maka bukan mahrom, jadi boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya, dan seterusnya.

Begitu pula saudara perempuan istri atau bibi istri, baik karena nasab maupun karena penyusuan maka bukan mahrom. Tidak boleh safar berdua dengannya, boncengan sepeda motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahrom tidak berlaku padanya. 
Akan tetapi tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya masih sebagai istri, sampai kalau seandainya si istri dicerai atau meninggal, maka baru boleh dinikahi. Hal ini berdasarkan firman Alloh,
"Dan (haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama)." [QS. An-Nisaa' ; 23]

Dan hadits Abu Hurairah radhiyallohu 'anhu [muttafaqun'alaih] bahwa Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam melarang mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya sebagai istrinya secara bersama-sama.
Wallahu ta'ala a'lam bish-showwab.
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa'di, Asy-Syarhul Mumti' 5/168-210]



sumber : Majalah Asy-Syariah no.08/1425/2004