Kamis, 09 Mei 2013

Ridha Terhadap Takdir

Kehidupan dunia ini bagaikan sebuah roda yang berputar. Pasti mengalami naik turun, kadang di atas dan kadang di bawah. Tidak lepas dari dua hal, yaitu keadaan menyenangkan dan keadaan menyusahkan.


Dalam dua keadaan tersebut, seorang hamba mempunyai kewajiban yang harus ditunaikannya. Sehingga, dengannya ia bisa menyempurnakan keimanan.

Kewajiban saat ditimpa sesuatu yang menyusahkan adalah bersabar. Qalbunya, yakin setiap musibah datang dari Alloh dengan segala hikmah di baliknya. Lisannya, mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, sesungguhnya kita ini milik Alloh, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kita kembali. Anggota badannya, tidak melakukan sesuatu yang dimurkai Alloh.

Rabu, 08 Mei 2013

Menghadiahkan Bacaan Qur'an

Bolehkah bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur'an dan saya hadiahkan untuk ayah dan ibu saya, untuk diketahui bahwa keduanya ummi (tidak bisa baca tulis). Dan bolehkah saya khatamkan Al-Qur'an untuk saya hadiahkan kepada orang yang bisa baca tulis tapi saya (memang) bermaksud menghadiahkannya kepadanya? Juga apakah boleh bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur'an untuk saya hadiahkan kepada lebih dari satu orang?


Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab,
Tidak terdapat dalam Al-Qur'an yang mulia ataupun dalam hadits yang suci dari Nabi sholallohu 'alaihi wasallam, tidak pula dari para shahabatnya yang mulia, sesuatu yang menunjukkan disyariatkannya menghadiahkan bacaan Al-Qur'an al-Karim untuk kedua orangtua atau untuk yang lain. Allah 'azza wa jalla mensyariatkan membaca Al-Qur'an untuk diambil manfaat darinya, diambil faedah darinya serta untuk dipahami maknanya lalu diamalkan.


Allah ta'ala berfirman,
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang berakal." [QS. Shaad ; 29]

"Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus." [QS. Al Isra' ; 9]

"Katakanlah : 'Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin." [QS. Fushilat ; 44]

Nabi sholallohu 'alaihi wasallam bersabda,
"Bacalah Al-Qur'an karena sesuangguhnya (amalan baca) Al-Qur'an itu nanti akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya." [Shahih, HR. Muslim no. 804]

Beliau juga bersabda (maknanya),
"Bahwa nanti akan didatangkan (amalan baca) Al-Qur'an pada hari kiamat dan para ahli Al-Qur'an yang mengamalkannya, akan datang kepadanya surat Al-Baqarah, Ali Imran, keduanya akan membela para pembacanya." [Shahih, HR. Muslim no. 804 dengan makna itu]

Jadi tujuan diturunkannya Al-Qur'an adalah untuk diamalkan, dipahami, dan dipakai untuk ibadah dengan membacanya, serta memperbanyak membacanya. Bukan untuk menghadiahkannya kepada orang-orang yang telah wafat atau yang lain. Aku tidak mengetahui ada dasar yang bisa dijadikan sandaran dalam hal menghadiahkan bacaan Al-Qur'an untuk kedua orangtua atau yang selain mereka. Padahal Nabi sholallohu 'alaihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan atas dasar ajaran kami maka itu tertolak." [Shahih, HR. Muslim]

Sebagian ulama membolehkan hal itu dan mengatakan : "Tidak mengapa menghadiahkan pahala Al-Qur'an dan amalan shalih yang lain."
Mereka mengkiaskan/menganalogikannya dengan shodaqoh dan doa untuk mayit.

Akan tetapi, yang benar adalah pendapat yang pertama (TIDAK BOLEH), berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan yang semakna dengannya. Seandainya menghadiahkan bacaan itu sesuatu yang disyariatkan, tentu akan dilakukan oleh as-salafush shalih (pendahulu kita yang baik). Juga, dalam hal ibadah tidak boleh digunakan qiyas (kias/analogi), karena ibadah itu berhenti pada tuntunan Nabi sholallohu 'alaihi wasallam. Tidak boleh ditetapkan kecuali dengan nash dari kalamullah atau hadits Nabi sholallohu 'alaihi wasallam, berdasarkan hadits yang lalu dan yang semakna dengannya.

Adapun menyedekahkan untuk orang yang sudah mati dan yang lain, demikian pula mendoakan mereka, menghajikan orang lain oleh yang sudah haji untuk dirinya sendiri, juga mengumrahkan oleh yang sudah umrah untuk dirinya sendiri, juga membayarkan utang puasa bagi yang telah wafat dan punya utang, maka semua ibadah ini boleh, telah shahih hadits-hadits dari Rosulullah sholallohu 'alaihi wasallam.
Alloh-lah yang memberikan taufiq.
[Majmu' Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi'ah]


Pendapat al-Imam Syafi'i rahimahullah,
Apa yang dipaparkan diatas juga merupakan pendapat al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah, sebagaimana disebutkan oleh Ibu Katsir sebagai salah seorang ulama ber-mahdzab Syafi'i dalam tafsirnya. Beliau katakan, firman-Nya :
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." [QS. An-Najm ; 39]

Yakni, sebagaimana tidak dibebankan padanya dosa orang lain, demikian pula ia tidak mendapatkan ganjaran kecuali dari apa yang dia usahakan sendiri.

Dari ayat ini, al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah dan yang mengikuti beliau, mengambil kesimpulan bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur'an tidak sampai kepada mayit. Karena dia bukan dari amalan mayit dan usahanya. Oleh karenanya, Nabi sholallohu 'alaihi wasallam tidak menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk itu. Tidak pula membimbing ke arah tersebut, baik dengan nash yang jelas atau dengan isyarat. Tidak pula dinukilkan hal itu dari seorang pun dari kalangan shahabat. Seandainya memang baik, tentu mereka akan mendahului kita dalam hal itu. Sedangkan dalam perkara ibadah, kita harus membatasinya pada nash (ayat dan hadits), tidak boleh diberlakukan padanya berbagai macam analogi dan pendapat akal.

Adapun shodaqoh dan doa, hal ini telah disepakati bahwa bisa sampai. Dan telah disebutkan (bolehnya) oleh yang menetapkan syariat.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallohu 'anhu, ia berkata, Rosulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda,
"Bila anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga hal, anak shalih yang mendoakannya, shodaqoh jariyah, dan ilmu yang bermanfaat."

Tiga perkara ini pada hakikatnya adalah bagian dari usahanya, jerih payah dan amalnya. Sebagaimana terdapat dalam hadits :
"Diantara yang terbaik dari apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya dan sungguh anaknya adalah termasuk dari usahanya."

Shodaqoh jariyah juga seperti wakaf dan sejenisnya, termasuk bagian dari amalnya. Allah 'azza wa jalla berfirman,
"Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan." [QS. Yasin ; 12]

Juga ilmu yang dia sebarkan di tengah manusia sehingga orang-orang mengikutinya setelah dia meninggal, itu juga termasuk dari usahanya. Dalam sebuah hadits di kitab shahih disebutkan :
"Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun." [Tafsir Ibnu Katsir, surat An-Najm ; 39]


sumber : majalah Asy-Syariah no. 55/1430H/2009

Jangan Terjatuh Dua Kali [Pada Lubang yang Sama]

Ibarat laut, pasang surut keharmonisan rumah tangga adalah hal biasa. Kadang jalinan cinta begitu erat dalam jiwa. Namun ada kalanya kendur, cinta serasa hampa tak bermakna.

Saat seperti inilah, masing-masing harus cerdas dan peka. Kemudian segera mengambil sikap untuk kembali merajut asa. Jangan biarkan celah bagi syaithan untuk mengambil perannya. Agar jarak yang tadinya menganga, hilang tergantikan bahagia.

Selasa, 07 Mei 2013

Wanita Keluar Rumah Tanpa Kebutuhan

Tanya :
Banyak perempuan yang sering keluar ke pasar atau ke swalayan, baik karena suatu kebutuhan maupun tidak, misalnya sekedar jalan-jalan, atau lihat-lihat barang/cuci mata. Terkadang mereka keluar tanpa ditemani oleh laki-laki dari kalangan mahromnya atau suaminya, padahal di pasar banyak godaan. Apa nasihat anda tentang hal ini? Jazakumullohu Khoyron.


Jawab :
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab,
"Tidaklah disangsikan bahwa tetap tinggalnya wanita dirumahnya adalah lebih baik baginya, sebagaimana dalam hadits,
"Rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka." [HR. Abu Dawud no.576, dinyatakan shahih dalam Shahih Abi Dawud dan al-Misykat no. 1062]

Jumat, 19 April 2013

Bolehnya Memberi Nama KUNIYAH Bagi Anak Kecil

Kuniyah adalah nama yang diawali dengan kata “abu” jika yang diberi kuniyah adalah seorang laki-laki, atau dengan kata “ummu” jika yang diberi kuniyah adalah seorang perempuan.

Dan boleh juga hal ini (memberi kuniyah) untuk anak kecil, berdasarkan hadits Anas bin Malik :

“Adalah Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam seorang yang paling baik akhlaqnya. Aku memiliki seorang saudara yang biasa dipanggil dengan Abu ‘Umair, aku mengira ia sudah disapih. Jika Nabi datang, maka beliau menyapa” ‘Ya Abu ‘Umair! Apa yang dilakukan oleh Mughair (burung kecilmu)’?” [Hadits Shohih, riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad]


Selasa, 16 April 2013

Petikan Nasehat dari Ibnul Qoyyim

Setiap hamba memiliki Rabb yang pasti akan ia temui. Ia juga memiliki suatu tempat tinggal yang kelak pasti akan ia tempati. Maka, hendaknya ia jadikan Rabbnya ridha kepadanya sebelum ia menemui-Nya. Seyogyanya ia makmurkan tempat tinggal itu sebelum ia berpindah dan menempatinya.

Menyia-nyiakan waktu lebih buruk daripada kematian. Karena menyia-nyiakan waktu berarti telah memutusmu dari Allah dan negeri akhirat. Sementara kematian hanya memutusmu dari dunia dan penduduknya.





Dunia semenjak awal hingga akhirnya tidak sebanding dengan kesedihan yang sesaat. Lalu bagaimana kiranya dengan kesedihan yang kekal selama-lamanya.


Apa saja yang kita cintai dari dunia ini, kelak akan berubah menjadi suatu hal yang kita benci. Dan apa yang kita benci dari dunia ini, kelak akan berubah menjadi suatu hal yang kita cintai.


Sebuah keuntungan terbesar didunia adalah ketika engkau mampu menyibukkan dirimu dengan hal-hal yang paling bermanfaat untuk jiwamu di hari kemudian.


Bagaimana dikatakan seseorang berakal, sementara ia tukar surga beserta kenikmatan yang ada didalamnya dengan pelampiasan syahwat sesaat.

Seorang yang arif, ketika ia meninggalkan dunia, ia rasakan dirinya masih saja kurang dalam melakukan dua perkara : menangisi diri sendiri sebab dosa yang dilakukan, dan memuji Allah sebab rahmat-Nya yang begitu luas.

Maka takutlah dari murka-Nya, dan berharaplah terhadap rahmat-Nya. Jika kita takut kepada manusia, kita akan selalu khawatir dan berusaha lari darinya.

Akan tetapi, jika kita takut kepada Allah, kita akan merasa tenteram dengan-Nya dan terus berusaha mendekat kepada-Nya. Yaitu, dengan ilmu yang membuahkan keikhlasan dalam beramal shalih dan berbagai ketaatan.

Seandainya ilmu itu dapat bermanfaat dengan tanpa adanya amal, pasti Allah tidak akan mencela Ahlul Kitab yang tidak mengamalkan ilmu mereka. Dan seandainya amal itu bermanfaat dengan tanpa ikhlas, pasti Alloh tidak akan mencela kaum munafik yang beramal tanpa keikhlasan.


Bersamaan dengan itu, jauhilah berbagai dosa dan kemaksiatan. Maka lawanlah apa yang terbersit dalam qolbumu ; berupa keinginan melakukan perbuatan dosa. Karena kalau tidak, ia akan menjadi syahwat. Lawanlah syahwat tersebut. Karena kalau tidak, ia akan berubah menjadi kebulatan tekad. Lawanlah kebulatan tekad itu, karena kalau tidak, ia akan berubah menjadi tindakan nyata.


[Al Fawaid hal 33-34, karya Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah]



sumber : majalah Tashfiyah edisi 23/1434 H/2013

Senin, 15 April 2013

'Iddah Istri yang Ditalak

Tanya :
Saya memohon penjelasan tentang iddah istri yang ditalak. Apakah istri yang ditalak dengan talak raj'i tetap tinggal di rumah suaminya atau ia pergi ke rumah orangtuanya sampai suaminya merujuknya?


Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab,
Wajib bagi istri yang ditalak raj'i untuk tetap tinggal di rumah suaminya dan haram bagi si suami mengeluarkan istrinya dari rumahnya, berdasarkan firman Alloh subhanahu wata'ala :

Minggu, 14 April 2013

TAFAHUM, saling memahami

Pulang kerja, badan capek, letih dan lesu serasa menjadi satu. Belum lagi bila ada masalah yang belum selesai. Menjadikan lelahnya pikiran menambah beban lelah pada badan.

Padahal, tanggung jawab berat seorang suami bukanlah sekedar mencari nafkah penghidupan. Justru yang utama adalah pendidikan agama untuk keluarga. Membimbing dan mengarahkan setiap langkah mereka, untuk meniti jalan Nabi yang mulia. Bersungguh-sungguh dalam berjuang untuk mengupayakan keselamatan dan kebahagiaan mereka. Yaitu kemenangan hakiki di dunia yang berlanjut di akhirat.




Selasa, 09 April 2013

Bagaimana Cara Bersuci Orang yang Sakit ?

tanya :
Bagaimana cara bersuci bagi orang sakit?


jawab :

1. Wajib bagi orang yang sakit untuk bersuci dengan air. Berwudhu dari hadats kecil dan mandi wajib dari hadats besar.

2. Apabila tidak mampu bersuci dengan air karena takut sakit bertambah parah atau memperlambat kesembuhan, maka boleh bertayammum.

3. Cara bertayammum dengan menepukkan dua tangan pada tanah yang suci sekali tepukan, kemudian mengusapkan pada wajah dan kedua punggung tangannya.


4. Apabila tidak mampu bersuci sendiri, maka dia diwudhukan atau ditayamumkan orang lain (orang lain disini maksudnya yang sesama jenis atau kalau seandainya beda jenis harus dari mahram si sakit). Seseorang menepukkan dua tangannya ke tanah yang suci, kemudian mengusapkannya pada wajah dan punggung tangannya. Sebagaimana ketika tidak mampu berwudhu sendiri, diwudhukan oleh orang lain.

5. Apabila bagian anggota wudhu terdapat luka, cuci dengan air (bila mungkin), seandainya akan berpengaruh terhadap luka, cukup dengan diusap saja. Tangan dibasahi dengan air kemudian diusapkan pada bagian luka. Seandainya dengan mengusap juga bermudharat, ia bertayammum.

6. Apabila pada sebagian anggota wudhu tersebut terdapat tulang yang patah terbalut perban atau gips, maka ia mengusap (bagian yang dibalut) dengan air sebagai ganti mencuci. Tidak perlu bertayammum karena mengusap dengan air sebagai ganti mencuci.

7. Boleh bertayammum pada dinding atau pada sesuatu yang suci yang berdebu. Apabila dinding tersebut terlapisi oleh sesuatu yang bukan dari jenis tanah seperti cat, jangan bertayammum padanya kecuali terdapat debu padanya.

8. Seandainya tidak mungkin bertayammum pada tanah atau dinding atau sesuatu yang terdapat debunya, boleh meletakkan tanah pada suatu wadah atau sapu tangan, kemudian bertayammum dengannya.

9. Apabila ia bertayammum untuk melakukan sholat, ia tetap dalam keadaan suci (tidak batal) sampai sholat berikutnya (selama tidak terjadi pembatal kesuciannya). Ia boleh sholat dengan tayammum yang pertama, tidak perlu mengulangi tayammum untuk sholat kedua, karena ia masih dalam kesuciannya dan tidak ada yang membatalkannya (seperti ketika ada air. Karena tayammum batal karena adanya air).

10. Seorang yang sakit wajib menyucikan badannya dari najis. Apabila tidak mampu ia boleh sholat bagaimanapun kondisinya (meskipun terdapat najis pada badannya). Sholatnya sah dan tidak perlu mengulang.

11. Wajib bagi orang yang sakit untuk sholat dengan pakaian yang suci. Apabila terkena najis harus dicuci atau berganti pakaian yang suci. Apabila tidak mungkin, ia boleh sholat bagaimanapun kondisinya. Sholatnya sah, tidak perlu mengulang.

12. Wajib pula bagi orang sakit untuk sholat diatas sesuatu yang suci. Apabila tempat sholatnya terkena najis, ia harus mencucinya, ganti dengan sesuatu yang suci, atau ditumpuk dengan alas yang suci lainnya. Apabila tidak mungkin, maka sholat pada keadaannya, dan sholatnya tetap sah, tidak perlu mengulangi.

13. Tidak boleh bagi orang yang sakit untuk mengakhirkan sholat dari waktunya karena tidak mampu bersuci. Ia tetap bersuci sesuai dengan kemampuan. Kemudian sholat pada waktunya, walaupun terdapat najis pada badan, pakaian, atau tempatnya, dan ia tidak mampu menyucikannya.


dialihbahasakan dari Fatawa Arkanil Islam, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin


sumber : majalah Tashfiyah edisi 05/2011


Aneh, Sungguh Aneh....,

Sungguh sangat aneh, engkau telah mengenal-Nya, tetapi engkau tidak mencintai-Nya. Engkau telah mendengar seruan utusan-Nya, kemudian engkau tidak menyambutnya. Engkaupun tahu betapa agung nilai keuntungan dalam bermuamalah dengan-Nya, namun justru engkau pilih selain-Nya. Engkau juga telah mengetahui besarnya kemurkaan-Nya, tapi engkau malah menyepelekan tanpa khawatir terhadap murka-Nya.