Senin, 15 April 2013

'Iddah Istri yang Ditalak

Tanya :
Saya memohon penjelasan tentang iddah istri yang ditalak. Apakah istri yang ditalak dengan talak raj'i tetap tinggal di rumah suaminya atau ia pergi ke rumah orangtuanya sampai suaminya merujuknya?


Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab,
Wajib bagi istri yang ditalak raj'i untuk tetap tinggal di rumah suaminya dan haram bagi si suami mengeluarkan istrinya dari rumahnya, berdasarkan firman Alloh subhanahu wata'ala :

"Janganlah kalian (para suami) mengeluarkan mereka (para istri yang ditalak raj'i) dari rumah-rumah mereka dan jangan pula mereka (diperkenankan) keluar, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Itulah hukum-hukum Alloh dan siapa yang melanggar hukum-hukum Alloh, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri." [QS. Ath-Thalaq ; 1]

Adapun sikap orang-orang pada hari ini dimana seorang istri bila ditalak dengan talak raj'i, dengan segera ia pulang ke ruma keluarga (orangtua)nya, hal ini jelas merupakan kesalahan dan perbuatan yang diharamkan. Karena Alloh berfirman :

"Janganlah kalian mengeluarkan mereka,"

Alloh juga mengatakan :

"Dan jangan pula mereka (diperkenankan) keluar."

Alloh tidak mengecualikan larangan diatas, terkecuali bila mereka (para istri yang ditalak) melakukan perbuatan keji yang nyata. Setelah itu Alloh berfirman :


"Itulah hukum-hukum Alloh dan siapa yang melanggar hukum-hukum Alloh maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri."


Lalu Alloh 'azza wa jalla menerangkan hikmah dari kewajiban si istri tetap tinggal dirumah suaminya dengan firman-Nya :

"Engkau tidak mengetahui barangkali Alloh mengadakan sesudah itu suatu perkara." [QS. Ath-Thalaq ; 1]

Maka sudah sewajibnya bagi kaum muslimin untuk menaruh perhatian terhadap hukum-hukum Alloh dan berpegang dengan apa yang Alloh perintahkan kepada mereka. Janganlah mereka menjadikan adat/kebiasaan sebagai jalan untuk menyelisihi hal-hal yang disyariatkan. Yang penting, wajib bagi si wanita untuk memperhatikan masalah ini. Istri yang ditalak raj'i wajib tetap tinggal dirumah suaminya hingga selesai iddahnya. Dalam keadaan/masa iddah tersebut, si istri boleh membuka wajah/tidak berhijab di hadapan suami yang mentalaknya, tetap berhias dan mempercantik diri didepan suaminya, tetap memakai wangi-wangian, mengajak bicara suaminya dan suaminya berbicara dengannya. Boleh pula dia duduk-duduk bersama suaminya dan melakukan segala sesuatu KECUALI istimta' (bernikmat-nikmat) dengan jima' atau mubasyarah (bersentuhan/bermesraan yang tidak sampai pada jima').
Karena istimta' dengan jima' atau mubasyarah hanya dilakukan ketika rujuk.

Si suami boleh merujuk istrinya (dalam masa iddah tersebut) dengan ucapan, ia katakan, "aku telah merujuk istriku." 
Sebagaimana ia boleh merujuk istrinya dengan perbuatan, dengan menggaulinya disertai niat rujuk.

Adapun tentang iddah istri yang ditalak, kita katakan :
Bila istri itu ditalak sebelum keduanya melakukan jima', sebelum si suami berdua-duaan dengannya dan mubasyarah dengannya, maka sama sekali tidak ada iddah bagi si wanita. Dengan demikian, semata-mata talak dan ia pisah dari suaminya, berarti ia halal untuk dinikahi oleh lelaki lain.

Namun bila istri itu ditalak setelah si suami berdua-duaan ataupun menggaulinya, maka wajib bagi si istri untuk ber-iddah.

[note : dua keadaan diatas maksudnya suami mentalaknya pada masa si istri sedang suci, setelah usai masa haidh. Karena talak yang dilakukan saat si istri sedang haidh, hukumnya haram dan tidak sah talak tersebut.]


Tentang iddahnya maka dilihat dari beberapa hal berikut ini :

Pertama : Bila ia dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya, baik waktunya panjang atau pendek. Bisa jadi, si suami mentalaknya pada waktu pagi, dan sebelum dhuhur ternyata si istri telah melahirkan kandungannya, yang berarti berakhir masa iddahnya.
Bisa pula terjadi si suami mentalaknya pada bulan Muharram dan ia belum juga melahirkan kandungannya sampai tiba bulan Dzulhijjah hingga ia beriddah selama 12 bulan.
Yang penting, istri yang hamil itu iddahnya dengan melahirkan kandungannya secara mutlak (tanpa melihat panjang pendeknya masa yang dijalani). Ini berdasarkan firman Alloh subhanahu wata'ala :

"Dan istri-istri yang sedang mengandung berakhir iddah mereka dengan melahirkan kandungan mereka." [QS. Ath-Thalaq ; 4]

Kedua : Si istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil dan ia masih mengalami haidh (belum memasuki menopause), maka iddahnya tiga kali haidh yang sempurna setelah ia ditalak. Dengan makna, ia ditimpa haidh lalu suci, beberapa waktu kemudian ia haidh lagi lalu suci, dan waktu berikutnya (kali yang ketiga) ia haidh lagi dan suci. Inilah tiga kali haidh yang sempurna, sama saja apakah masanya panjang diantara ketiga haidh tersebut atau tidak. 
Berdasarkan hal ini, bila si suami mentalaknya dalam kondisi ia masih dalam masa menyusui bayi/anaknya dan ia tidak mengalami haidh  terkecuali setelah lewat dua tahun (karena biasanya ibu yang sedang menyusui tertahan haidh-nya), maka ia terus dalam masa iddah sampai datang haidh padanya sebanyak tiga kali sehingga ia menjalani masa iddah selama dua tahun atau lebih. 
Yang penting, wanita yang masih mengalami haidh (belum menopause), berarti iddahnya tiga kali haidh yang sempurna, sama saja apakah masanya panjang atau pendek. Ini berdasarkan firman Alloh :

"Dan istri-istri yang ditalak hendaknya menahan diri mereka (menjalani iddah) selama tiga quru' (suci dari haidh)." [QS. Al-Baqarah ; 228]

Ketiga : Si wanita tidak mengalami haidh, bisa jadi usianya yang masih kecil sehingga haidh belum menimpanya, atau karena sudah tua, telah mengalami menopause. Maka iddah wanita ini selama tiga bulan. Ini berdasarkan firman Alloh :

"Dan wanita-wanita yang tidak haidh lagi (menopause) dari istri-istri kalian (yang kalian talak), jika kalian ragu tentang masa iddahnya, maka iddah mereka tiga bulan, demikian pula wanita-wanita yang belum mengalami haidh." [QS. Ath-Thalaq ; 4]

Keempat : Bila si wanita tidak lagi mengalami haidh karena suatu sebab yang diketahui bahwa haidh-nya tidak akan kembali padanya (maksudnya ia tidak akan mengalami haidh lagi selama-lamanya) seperti rahimnya telah diangkat, maka wanita yang seperti ini disamakan dengan wanita yang menopause. Ia beriddah selama tiga bulan.

Kelima : Bila si wanita tidak mengalami haidh dalam keadaan ia tahu apa yang menyebabkan haidhnya tertahan, maka ia menanti sampai hilang penyebab yang menahan haidh-nya dan menanti haidh-nya kembali lagi. Lalu ia menghitung iddahnya dengan hadh tersebut.

Keenam : Bila si wanita tidak mengalami haidh dan ia tidak tahu apa penyebabnya,  maka para ulama mengatakan si wanita beriddah selama setahun penuh. Dengan perincian, sembilan bulan untuk masa kehamilan dan tiga bulan untuk iddah.


Demikian pembagian iddah istri yang ditalak.

Adapun wanita yang pernikahannya fasakh/dibatalkan dengan cara khulu' (Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyatakan bahwa Khulu' adalah seorang suami melepaskan istrinya dari ikatan pernikahan, dengan cara si istri memberikan iwadh/sejumlah harta untuk menebus dirinya kepada suaminya) atau selainnya, maka cukup baginya menahan diri selama satu kali haidh.
Bila seorang istri meminta khulu' kepada suaminya dengan ia atau walinya memberikan iwadh kepada si suami agar si suami mau melepaskannya dari ikatan pernikahan, kemudian si suami meluluskan permintaan tersebut dengan mengambil iwadh yang diberikan, maka cukup setelah perpisahan itu si istri menahan diri selama satu kali haidh.
Alloh subhanahu wata'ala lah yang memberi taufik.

[Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 2/797, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar'ah Al-Muslimah fil 'Aqa'id wal Ibadat wal Mu'amalat wal Adab, hal 1028-1030]



sumber : Majalah Asy-Syariah no.59/1431 H / 2010