Senin, 09 Desember 2013

Memakan Bangkai Saudara Sendiri

Ghibah atau membicarakan orang lain (bisa juga diistilahkan dengan ngerumpi) adalah aktivitas yang 'mengasyikkan'. Tak sedikit orang, yang secara sadar atau tidak, terjatuh dalam perbuatan ini. Karena memang syaithan telah menghiasi perbuatan ini sehingga nampak indah dan menyenangkan. Tahukah anda bahwa Alloh mengibaratkan ghibah dengan perbuatan memakan daging saudara kita yang telah mati....?!

Bani Adam adalah makhluk yang lemah, serba kekurangan, dan menjadi tempat kesalahan. Demikianlah fakta yang akan dijumpai bila setiap orang jujur akan hakikat dirinya. Ia lemah dari semua sisi; tubuhnya, semangatnya, keinginannya, imannya dan lemah kesabarannya. Dengan keadaan seperti ini, Alloh dengan keMaha Bijaksanaan-Nya memberikan beban syariat sesuai dengan kesanggupannya. Demikian yang dikatakan Asy-Syaikh As-Sa'di dalam Tafsir-nya.

Terkadang kelemahan ini menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam perbuatan dosa dan maksiat. Mendzalimi diri sendiri, orang lain, bahkan mendzalimi Alloh. Keadaan demikian banyak terjadi pada manusia khususnya yang tidak mendapat hidayah dan rahmat dari Alloh.
Alloh berfirman,
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh." [QS. Al-Ahzab ; 72]

Banyak sekali faktor yang mendorong manusia untuk berbuat kesalahan atau kemaksiatan. Terkadang dorongan itu datang dari dalam diri sendiri dan terkadang dari luar. Berbahagialah orang yang mengerti kelemahan dirinya.

Abu Ad-Darda radhiyallohu 'anhu berkata,
"Termasuk wujud ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui imannya bertambah atau berkurang. Dan termasuk dari barokah ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui darimana syaithan akan menggelincirkannya." [Asbab Ziyadatul Iman, hal.10]

Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam kemaksiatan adalah lisan. Sungguh betapa ringan lisan ini digerakkan untuk bermaksiat kepada Alloh. Serta betapa berat untuk diajak berdzikir kepada Alloh.
Demikian hakikat lisan sebagaimana ucapan Abu Hatim,
"Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui asin atau tidaknya makanan dan minuman, atau panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan sangat tanggap pula bila mata melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah, lidah itu tak bertulang."

Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam." [Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallohu 'anhu]

Namun bukan berarti engkau diam dari suatu kemungkaran dan diam untuk mengucapkan kebenaran. "Syaithan bisu" itulah gelar dan panggilan seseorang yang diam dari kemungkaran dan tidak mau menyuarakan kebenaran.


Makna Ghibah
Tidak ada penafsiran terbaik tentang makna ghibah selain penafsiran Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam dalam hadits beliau. Bila ada penafsiran para ulama tentang ghibah maka tidak akan terlepas dari penafsiran beliau meski dengan ungkapan yang berbeda. Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam menjelaskan makna ghibah ini dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallohu 'anhu,
"Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah?"
Mereka berkata: "Alloh dan Rasul-Nya yang lebih tahu."
Beliau bersabda: "Kamu menceritakan tentang saudaramu apa yang tidak dia sukai."
Dikatakan kepada beliau: "Bagaimana pendapat engkau bila apa yang aku katakan ada pada saudaraku itu?"
Beliau menjawab: "Jika apa yang kamu katakan ada pada saudaramu, maka kamu telah meng-ghibahi-nya, dan jika apa yang kamu katakan tidak ada pada dirinya, maka kamu telah berdusta."
[Shahih, HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi]


Ghibah adalah Dosa Besar
Dari keterangan di atas, diambil kesimpulan bahwa makna ghibah adalah menceritakan seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan objek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Bila apa yang diceritakan tidak ada pada orang tersebut, ini merupakan dusta atas namanya dan tentu saja dosanya lebih besar dari yang pertama.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
"Ghibah adalah haram secara ijma' dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan (dalam hal yang) maslahatnya lebih kuat, seperti dalam jarh dan ta'dil (menerangkan perawi hadits) dan nasehat, sebagaimana sabda Rasulullah ketika seseorang yang jahat meminta izin kepada beliau untuk bertemu beliau, maka beliau berkata: 'Izinkan dia, sesungguhnya dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya'. Juga seperti sabda beliau kepada Fathimah bintu Qais saat dipinang oleh Muawiyah dan Abu Jahm. (Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam mengabarkan) bahwa Muawiyah adalah orang yang sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya."
[Tafsir Ibnu Katsir, 4/215]

Ghibah jelas perbuatan terlarang. Bahkan ia termasuk perbuatan dosa besar.
Alloh berfirman,
"Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertaqwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Hujurat ; 12]

Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram seperti haramnya hari kalian ini, bulan kalian ini, dan negeri kalian ini." [Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Bakrah]

Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam juga bersabda,
"Ketika saya dibawa naik, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga yang dengannya mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya: 'Hai Jibril, siapakah mereka?' Jibril menjawab, 'Mereka adalah kaum yang telah memakan daging orang lain dan menginjak-injak kehormatan mereka'." [HR. Abu Dawud dari shahabat Anas bin Malik dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

Masih banyak dalil-dalil yang menjelaskan tentang keharaman ghibah dan bahwa ghibah termasuk dosa besar.


Kapan Boleh Meng-ghibah?
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
"Ghibah dibolehkan dengan tujuan syariat yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut melainkan dengannya."

Dibolehkan ghibah pada enam perkara:
1. Ketika ter-dzalimi
2. Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran
3. Meminta fatwa
4. Memperingatkan kaum muslimin dari sebuah kejahatan atau menasehati mereka
5. Ketika seseorang menampakkan kefasikannya
6. Memanggil seseorang yang dia terkenal dengan nama itu.
[Riyadush Shalihin, bab "Apa-apa yang diperbolehkan untuk Ghibah"]


Cara Bertaubat dari Ghibah
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, orang yang telah berbuat ghibah tidak harus mengumumkan taubatnya. Cukup baginya memintakan ampun bagi orang yang di-ghibahi dan menyebutkan segala kebaikannya di tempat-tempat di mana dia meng-ghibahi-nya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ummu Abdillah Al-Wadi'iyyah dalam kitabnya, Nashihati lin Nisaa' hlm.31.


Haruskah Meminta Maaf kepada Orang yang di-Ghibahi?
Dalam permasalahan ini, perlu dirinci:
Pertama, bila orang tersebut mendengar ghibahnya, maka dia harus datang kepada orang tersebut meminta kehalalannya (minta maaf).
Kedua, jika orang tersebut tidak mendengar ghibahnya, maka cukup baginya menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan mencabut diri darinya di tempat ia berbuat ghibah.

Al-Qahthani rahimahullah dalam kitab Nuniyyah beliau (hlm.39) menasehati kita,
"Janganlah kamu sibuk dengan aib saudaramu dan lali dari aib dirimu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah dua ke-aib-an."

Wallahu a'lam.



sumber : majalah Asy-Syariah no.04/1424/2003