Kamis, 25 Juni 2015

Menjadi Hamba Sebenarnya

Hamba adalah seorang yang wajib berkhidmat kepada majikan. Layaknya budak yang menurut dan patuh kepada sang tuan.
Ya, manusia tanpa kecuali adalah hamba Allah yang harus tunduk dan taat kepada-Nya. Apalagi, kemurahan-Nya selalu tercurah dan terlimpah atas hamba. 
Tidakkah hamba menyadari? Seorang ayah atau ibu saja akan marah dan kecewa terhadap anaknya yang membantah. Padahal, jasa orangtua tentu tidak ada apa-apanya bila dibandingkan Sang Pencipta. Bukankah segala perhatian dan kebaikan orangtua kembali kepada Allah juga? Artinya, Allah-lah yang menggerakkan  qalbu ayah ibu untuk mencintai kita dengan tulus. Sekali lagi, akankah manusia menyadari?

"Nabi shalallahu 'alaihi wasallam shalat malam sampai dua kaki beliau (yang mulia) pecah-pecah." [HR. Bukhari dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha]

Membaca, merenungi, dan berkaca dari hadits ini, betapa rendah diri ini. Tetap saja beliau semakin kuat beribadah, padahal telah gugur dosa-dosa sebelum dan sesudahnya. Bahkan sebelum itu, waktu, harta, jiwa dan raga beliau untuk Islam dan kaum muslimin. Hidup beliau adalah dakwah dan jihad.

Lihatlah diri kita! Sudah benarkah shalat wajib kita yang lima waktu sehari itu? Hadirkah kita dengan segala hati, sebagai saat-saat emas bermunajat dengan-Nya, melepas gundah dan resah, mengadukan segala kesah kepada-Nya, menjadi penyejuk mata dan penjernih qalbu? Atau justru berkelana kemana-mana; kerumah, tempat kerja, tempat olahraga, bersama teman ngobrol? Atau bahkan menjadi beban melelahkan yang dikerjakan sekedar melepas kewajiban? Allahua'lam, masing-masing mengerti keadaannya.

Ini baru shalat yang mungkin mengambil kurang dari 5% dari seluruh waktu kita dalam sehari. Lalu dimanakah 95% yang lain? Jihad, ataukah sibuk dakwah? Ataukah 'bersimpuh' bakti kepada orangtua?
Atau... Ah, rasanya semakin malu saja. Semakin jauh diri ini dari sosok hamba yang baik. Padahal, kemuliaan seorang hamba terukur dari sejauh mana perwujudan penghambaannya kepada Penciptanya.

Kalau kita mau jujur, justru penghambaan kita semakin kotor dengan berbagai kemaksiatan. Saya tegaskan, hari-hari kita memang penuh dengan maksiat. Lalai dari dzikir, lupa untuk bersyukur kepada-Nya, bukankah dua hal ini bentuk maksiat yang nyata kepada Allah?
Belum lagi qalbu yang sering hasad kepada sesama, berbangga hati merasa lebih dari yang lain, dan...dan...

Nampaknya, kita harus sering beristighfar dan bertaubat kepada-Nya. Ya, harus selalu mohon ampun kepada-Nya, sembari terus berusaha menjadi hamba yang baik. Semoga Allah senantiasa memberikan bimbingan dan kemudahan kepada kita menuju ke arah sana. Aamiin.



sumber bacaan: majalah Tashfiyah ed.44/1436H/2015