Kamis, 30 Januari 2014

Sikap yang Keliru Saat Sakit - part 2


6. Bergantung kepada selain Allah, baik kepada dokter maupun lainnya
Seorang muslim memang diperintah untuk menempuh sebab dan hal ini tidak bertentangan dengan keharusan bersabar serta bertawakkal.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Adapun memberitakan kepada seseorang tentang keadaan yang sedang dialami, apabila maksudnya adalah meminta tolong agar ia diberi bimbingan/arahan, atau diberi bantuan, atau sebagai perantara agar kesusahannya hilang, si hamba tidaklah dicela dengan penyampaiannya tersebut. Misalnya, seorang yang sakit memberitahu dokter tentang keluhan yang dirasakannya."


Sama sekali tidak ada dosa bagi si sakit untuk berobat dan menempuh sebab yang bisa mengantarkannya kepada kesembuhan dengan izin Allah, seperti mencari dan berobat kepada seorang dokter yang ahli.
Akan tetapi, ia wajib menggantungkan hati dan harapannya hanya kepada Allah. Ia harus menyadari bahwa dokter dan obat hanyalah sebab kesembuhan semata, bukan yang menyembuhkan. Yang menyembuhkan segala penyakit, secara hakiki hanyalah Allah.
Allah berfirman menyebutkan ucapan Nabi Ibrahim 'alaihissalam,
"Dan apabila aku sakit, maka Dia-lah yang menyembuhkanku." [QS. Asy-Syu'ara; 80]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang makna ayat di atas,
"Maksudnya, apabila aku jatuh sakit, tidak ada seorang pun yang sanggup menyembuhkanku selain Dia dengan apa yang Dia takdirkan berupa sebab-sebab yang mengantarkan kepada kesembuhan." [Tafsir Ibnu Katsir, 6/46]


7. Minta bantuan kepada tukang sihir, dukun, atau "orang pintar"
Perkara paling berbahaya yang dilakukan oleh orang yang sakit adalah pergi ke tukang sihir, dukun, atau "orang pintar" guna beroleh kesembuhan.
Mengapa dikatakan paling berbahaya? Karena taruhannya adalah iman.
Barangsiapa mendatangi para thaghut tersebut, mempercayai, dan membenarkan apa yang mereka katakan berarti ia telah kafir, na'udzubillah.
Nabi sholallohu 'alaihi wasallam pernah bersabda,
"Siapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun, lantas membenarkan apa yang dikatakannya, berarti ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam." [HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dll, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami' no.5939]


8. Tidak mau berdoa
Sakit yang menimpa seorang hamba adalah dengan takdir Allah dan Dia Maha Mampu untuk mengangkat dan menghilangkan sakit tersebut. Karena itu, si sakit harus berdoa kepada Allah. Doa adalah senjata seorang mukmin.

Rasulullah pernah bersabda,
"Doa bermanfaat untuk mengatasi apa yang telah menimpa dan yang belum, maka semestinya kalian, wahai hamba-hamba Allah, berdoa kepada Allah." [HR. at-Tirmidzi dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami' no.3409]

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Doa adalah obat yang paling bermanfaat. Ia merupakan musuh bagi musibah, yang akan menolak dan menghilangkannya, yang mencegah turunnya, mengangkatnya, atau meringankannya apabila sudah menimpa. Doa adalah senjata orang beriman. Bersama musibah, doa memiliki tiga posisi :
1. Ia lebih kuat daripada bala, maka tertolaklah bala tersebut olehnya.
2. Ia lebih lemah daripada musibah sehingga mengalahkannya.
Akibatnya, bala pun menimpa si hamba. Akan tetapi, terkadang doa tersebut menjadikannya ringan walaupun doa sendiri dalam posisi lemah.
3. Sama/seimbang antara doa dan bala. sehingga masing-masing saling menolak. (Doa berupaya menolak bala, sebagaimana bala pun mengalahkan doa)."
[ad-Da'u wad Dawa', hlm 11]

Jika demikian posisi doa saat berhadapan dengan bala, lantas mengapa ada orang sakit yang lalai atau enggan berdoa, menganggapnya remeh dan tidak perlu?


9. Berpaling dari ruqyah yang syar'i
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
"Dan Kami menurunkan dari al-Qur'an ini apa yang merupakan penyembuh/obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." [QS. al-Israa'; 82]

Dalam as-Sunnah, pengobatan dengan al-Qur'an adalah sesuatu yang diakui. Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam pernah melakukannya, demikian pula para shahabat beliau.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Dimaklumi bahwa ada di antara ucapan yang memiliki kekhususan dan kemanfaatan yang teruji. Lalu, apa kira-kira persangkaan terhadap kalam/ucapan Rabbul Alamin, yang ucapan-Nya itu dilebihkan-Nya di atas seluruh ucapan, sebagaimana kelebihan Allah di atas seluruh makhluk-Nya? Kalam-Nya adalah penyembuh/obat yang sempurna, penjagaan yang bermanfaat, dan cahaya yang memberikan petunjuk serta rahmat yang umum. Andai kalam-Nya tersebut Dia turunkan kepada gunung, niscaya gunung akan hancur karena keagungan dan kemuliaan-Nya." [ath-Thibbun Nabawi, hlm 138]

Dalam Zaadul Ma'ad [4/287], Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan, "Al-Qur'an  adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, sebagaimana pula penyembuh seluruh penyakit dunia dan akhirat. Tidaklah setiap orang diberi keahlian dan taufik untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsisten berobat dengannya dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan keimanan, kepasrahan secara total, keyakinan yang kokoh dan penunaian syaratnya yang sempurna, niscaya penyakit apa pun tidak akan mampu menghadapinya selama-lamanya. Bagaimana mungkin penyakit tersebut mampu menghadapi firman Dzat yang memiliki langit dan bumi? Kalam yang jika diturunkan kepada gunung, ia akan hancur. Atau jika diturunkan kepada bumi, akan terbelahlah ia. Maka dari itu, tidak satu pun jenis penyakit, baik penyakit hati maupun jasmani, melainkan dalam al-Qur'an ada cara yang membimbing kepada obat dan sebab (kesembuhan)nya."

Ibnul Qayyim rahimahullah juga mengatakan, "Ketahuilah, pengobatan ilahiah bermanfaat terhadap penyakit setelah terjadinya penyakit tersebut dan bisa mencegah terjadinya penyakit (apabila belum mengenai seorang hamba). Jika ternyata penyakit tetap datang, tidaklah sampai memudharatkan, sekalipun menyakitkan (memberi rasa sakit)." [ath-Thibbun Nabawi, hlm 142]

Ruqyah dan ta'awwudzat (bacaan/doa yang berisi permohonan perlindungan kepada Allah) tidak hanya bisa menghilangkan penyakit. Bahkan, ia bisa menjaga kesehatan (sebelum penyakit datang). Sebagai buktinya adalah apa yang ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu 'anha dalam Shahihain, Aisyah berkata,
"Apabila telah berada ditempat tidurnya, Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam meniup pada kedua telapak tangannya dengan membaca Qul Huwallahu ahad dan al-mu'awwidzatain (surah al-Falaq dan an-Naas). Setelahnya, dengan kedua telapak tangan tersebut beliau mengusap wajahnya dan seluruh tubuhnya yang bisa dicapai oleh tangannya."

Dalam Shahihain pula disebutkan hadits:
"Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surah al-Baqarah pada waktu malam, niscaya kedua ayat tersebut mencukupinya."

Dalam Shahih Muslim disebutkan dari Nabi sholallohu 'alaihi wasallam,
"Siapa yang singgah di suatu tempat, lalu ia membaca doa : 'Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan apa yang diciptakan-Nya', tidak ada sesuatupun yang dapat membahayakannya sampai ia meninggalkan tempatnya tersebut."

Karena itu, hendaknya orang yang sedang ditimpa sakit tidak melupakan pengobatan yang merupakan petunjuk Nabi ini, yaitu berobat dengan bacaan al-Qur'anul Karim, dzikir-dzikir, dan doa-doa yang diajarkan serta dilakukan oleh Nabi sholallohu 'alaihi wasallam saat sakit. Jangan sampai yang ada di pikirannya hanyalah minum obat dari dokter atau yang dibeli di apotek, tanpa ingin mencoba pengobatan nabawi.

Namun, yang perlu kita ketahui saat melakukan pengobatan dengan ruqyah adalah pengobatan ini butuh penerimaan dari yang diobati dan kekuatan dari yang mengobati, serta tidak ada penghalang yang mencegah keberhasilan pengobatan tersebut. [ad-Da'u wad Dawa', hlm 8]

Oleh karena itu, masing-masing (pihak yang mengobati dan yang diobati) harus yakin, bersih hatinya dari ketergantungan kepada selain Allah, berpegang dengan tauhid, jauh dari kesyirikan, dan tunduk serta merendah kepada Dzat yang Maha Menyembuhkan. InsyaAllah dengan demikian pengaruh ruqyah akan tampak.


10. Tidak memperhatikan Wasiat
Apabila di tangan kita ada hak orang lain atau kita punya hak pada orang lain, dan tidak ada tanda bukti hitam di atas putih, kita harus membuat wasiat agar hak tersebut tidak tersia-siakan. Wasiat ini bisa dilakukan secara lisan meskipun tertulis lebih baik, sebagaimana halnya ditunjukkan oleh hadits yang akan disebutkan.
Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda,
"Tidak pantas bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang ingin ia wasiatkan untuk melewati dua malamnya melainkan wasiatnya itu tertulis di sisinya." [Muttafaqun'alaih]

Dengan demikian, bersegera menulis wasiat termasuk sunnah Nabi sholallohu 'alaihi wasallam.

Ada orang sakit yang merasa enggan menulis wasiat. Dengan wasiat tersebut, ia merasa seolah-olah ajalnya sudah dekat, padahal ia masih menginginkan sembuh dari sakitnya dan hidup lebih lama lagi. Sungguh, penulisan wasiat tidaklah mendekatkan ajal si sakit. Sebaliknya, tidak menulis wasiat tidak pula menjauhkan ajal si sakit. Tidak ada seorangpun yang tahu kapan kematian akan mendatanginya.
Yang jelas, kita semua meyakini firman Allah ta'ala,
"Setiap yang berjiwa akan merasakan mati." [QS. Ali Imran; 185]

Apabila di saat sakit kita ingin berwasiat terkait dengan harta yang kita miliki, wasiat tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah harta, sebagaimana tuntunan Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam. Jika kita menetapkannya lebih dari itu, berarti kita telah berlaku zalim terhadap hak ahli waris. Disamping itu, tidak boleh pula berwasiat memberi harta kepada ahli waris karena mereka sudah punya bagian tersendiri yang diatur oleh syariat. Wasiat hanyalah untuk selain ahli waris.
Wallahu ta'ala a'lam bish-showwab.



sumber : majalah asy-Syariah no.74-75/1432H/2011