Jumat, 03 Januari 2014

Ada Apa dengan CINTA ?!

Segala puji bagi Allah yang memberikan taufik kepada kita untuk mencintai dan menghamba kepada-Nya. Dengan mahabbah (cinta), khauf (takut), dan roja' (mengharap), kita beribadah kepada Allah. Maha Pengasih Allah yang menciptakan kita memiliki tabiat untuk mencintai. Oleh karena itu, orangtua sangat mencintai dan mengasihi anaknya, seorang anak mencintai dan menghormati kedua orangtuanya, dan sepasang suami istri saling mencintai dan menyayangi. Dengan cinta, kehidupan ini menjadi sangat indah.

Namun, sangat disayangkan, cinta yang dipahami oleh banyak remaja muslim sebatas cinta antara sepasang remaja yang sedang dimabuk asmara, atau cinta seorang remaja yang duduk di bangku sekolah tingkat menengah kepada seorang gadis yang masih satu sekolah dengannya, atau makna cinta yang tidak jauh dari itu.




Sesungguhnya, cinta dengan makna seperti itu adalah cinta yang terlarang dan akan menyebabkan kesengsaraan seseorang di dunia dan kelak di akhirat. Namun, itulah makna cinta yang mereka pahami, bahkan menjadi komoditas bisnis di dunia entertainment.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami bawakan pembahasan tentang macam-macam cinta, dengan harapan kita memahami makna cinta dengan baik dan benar.



Pertama : Mahabbah Ibadah (Cinta yang terhitung Ibadah)

Macam cinta yang pertama adalah cinta ibadah, yaitu mencintai Allah dan mencintai hal-hal yang dicintai oleh Allah.
Allah berfirman, 
"...tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah didalam hati kalian." [QS. Al-Hujurat; 7]

"Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah." [QS. Al-Baqarah; 165]


Asy-Syaikh al-'Allamah Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah berkata,

"Sesungguhnya mencintai Allah termasuk ibadah yang paling penting dan paling utama serta merupakan landasan agama. Sebab, mencintai Allah mengharuskan ikhlas kepada-Nya, menaati perintah-Nya, meninggalkan larangan-Nya, dan tunduk kepada-Nya." [Syarh Kitab at-Tauhid, Ibnu Baz, hlm.162]

Cinta kepada Allah inilah cinta yang hakiki. Ia menjadi sebab kebahagiaan hati seorang hamba sekaligus menjadi sebab terasa manisnya iman, ketaatan, dan ibadah kepada-Nya.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan sepuluh sebab agar seorang hamba mencintai Allah (mahabbatullah) dan dicintai oleh Allah :

1. Membaca al-Qur'an dengan men-tadabburi dan memahami kandungannya sesuai dengan maksudnya.

2. Mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah setelah melakukan ibadah-ibadah wajib. Sesungguhnya hal ini akan mengantarkannya ke derajat 'dicintai' setelah mencapai derajat 'mencintai'.
3. Senantiasa berdzikir kepada Allah pada setiap keadaan, baik dengan lisan, hati maupun amalan.
4. Mendahulukan kecintaan kepada Allah daripada kecintaan kepada diri sendiri ketika diliputi hawa nafsu.
5. Mengenal Allah, nama-namaNya, dan sifat-sifatNya.
6. Merenungi/menghayati kebaikan dan ihsan-Nya serta berbagai nikmat-Nya, baik yang lahir maupun yang batin.
7. Ketundukan hati secara total di hadapan Allah. Hati khusyuk kepada-Nya, merendahkan diri, dan membutuhkan-Nya.
8. Menyendiri untuk beribadah, sholat malam, bermunajat, dan memohon ampun, serta bertaubat kepada Allah pada akhir malam.
9. Bermajelis dengan muhibbin (orang-orang yang mencintai Allah) dan shiddiqin (orang-orang yang sangat jujur) untuk memetik kebajikan perkataan mereka.
10. Menjauhi sebab-sebab yang menghalangi hati dari Allah.
[Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim 3/17 dengan sedikit diringkas dan disesuaikan]


Kedua : Mahabbah yang Syirik

Macam cinta yang kedua adalah cinta yang hukumnya syirik, yaitu mencintai selain Allah sama dengan kecintaannya kepada Allah atau lebih besar dari itu.
Allah berfirman,
"Diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah." [QS. Al-Baqarah; 165]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Barangsiapa mencintai makhluk seperti kecintaannya kepada al-khaliq (Yang Maha Pencipta, yaitu Allah), dia telah melakukan perbuatan syirik. Sungguh, dia telah menjadikan selain Allah sebagai tandingan, dan mencintainya sebagaimana dia mencintai Allah." [Majmu' al-Fatawa 10/265]


Allah berfirman tentang perbuatan syirik,

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." [QS. an-Nisa; 48]


Ketiga : Mahabbah Maksiat (Cinta yang hukumnya Maksiat)

Macam cinta yang ketiga adalah cinta yang hukumnya maksiat, seperti mencintai perkara yang haram. Contohnya adalah cinta untuk berpacaran, berduaan, berciuman, atau untuk melakukan hubungan seks pranikah (zina) dan yang lainnya.

Allah berfirman,

"Dan wanita-wanita di kota berkata, 'Istri al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya). Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata'." [QS. Yusuf; 30]


Keempat : Mahabbah Thabi'iyyah (Cinta yang merupakan Tabiat]

Macam cinta yang keempat adalah cinta yang merupakan tabiat manusia. Misalnya, mencintai anak, istri, keluarga, harta, dan hal-hal yang mubah (boleh) lainnya sebatas tabiat.

Allah berfirman,

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." [QS. Ali Imran; 14]

Akan tetapi, kalau cinta yang merupakan tabiat ini mengantarkan seseorang untuk melakukan perbuatan maksiat, berubahlah ia menjadi cinta maksiat.



Itulah macam-macam cinta yang harus dipahami. Cinta tidaklah identik dengan pacaran. Lebih dari itu, ada banyak macam cinta. Ada cinta ibadah, yaitu cinta seorang hamba kepada Allah; ada cinta yang ternilai sebagai maksiat, yaitu cinta kepada kemaksiatan; ada cinta yang mengandung kesyirikan; ada juga cinta yang merupakan tabiat manusia.

Wallahu a'lam bish-shawab.


sumber : majalah Qonitah ed.06/vol.01/1434H/2013