Suatu hal yang telah diketahui bersama, bahwa urusan manusia di muka bumi ini tidak akan beres tanpa adanya penguasa yang mengatur dan mengurusi mereka. Namun pemerintah juga tidak mungkin menjalankan program-programnya yang baik tanpa ada dukungan dari rakyatnya.
Oleh karena itu, Islam telah mengatur hubungan antara rakyat dengan penguasanya. Setiap pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan kepada yang lain. Dengan demikian, akan terjalin komunikasi yang baik sehingga terwujud kemaslahatan bersama yaitu tegaknya agama dan lurusnya perkara dunia.
Sungguh, betapa indah kehidupan ketika penguasa mencintai rakyatnya dan mengerti tanggungjawab yang dipikul di atas pundaknya lalu dijalankan dengan sepenuh ketulusan. Dengan ini rakyat akan menaruh rasa hormat dan mencintai penguasanya. Keadilan ditegakkan, serta rasa aman dan nyaman terjamin. Kebaikan dijunjung tinggi dan kejelekan ditumbangkan.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian; serta kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian." [HR.Muslim dari Auf bin Malik radhiyallahu 'anhu]
Adab Rakyat terhadap Penguasa
Karena penguasa memikul tanggung jawab yang berat dalam mengurusi perkara rakyatnya maka sudah semestinya rakyat memberikan dukungan kepada mereka dalam mewujudkan program-program yang baik. Dukungan rakyat sangat berarti sehingga penguasa semakin tulus dalam menjalankan roda kepemerintahannya.
Diantara yang harus diberikan oleh rakyat kepada penguasanya adalah taat dan mendengar terhadap perintah penguasa, sebagaimana firman Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu." [QS. An-Nisa;59]
Ketaatan kepada penguasa selalu dijalankan, baik dalam kondisi sempit atau lapang dan seperti apapun kondisi penguasa meskipun dia berasal dari budak sahaya atau bahkan seorang muslim yang fasik. Ketaatan seorang muslim kepada penguasa semata-mata karena melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, serta menjaga kekondusifan suasana, bukan karena ingin cari muka, berharap materi, ataupun ambisi jabatan/tahta. Akan tetapi, ketaatan terhadap perintah mereka pada perkara yang bukan maksiat.
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah."
[HR.Ahmad dan al-Hakim dari Imran radhiyallahu 'anhu. Shahih al-Jami' ; 7520]
Rakyat juga semestinya mendudukkan penguasa pada kedudukannya dan menghormatinya. Sebab, orang yang menghormati penguasa akan dihormati oleh Allah, sedangkan yang menghinakan penguasa akan dihinakan oleh Allah. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Abi 'Ashim dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah no.1024.
Rakyat juga tidak boleh menggunjing penguasa. Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan,
"Membicarakan (keburukan) penguasa termasuk bentuk menggunjing dan mengadu domba. Keduanya adalah perbuatan yang sangat diharamkan setelah syirik, lebih-lebih bila yang digunjing adalah para ulama dan penguasa, tentu lebih diharamkan, karena akan timbul darinya sejumlah kerusakan yaitu: tercerai berainya persatuan dan munculnya sikap buruk sangka dan pesimis pada jiwa-jiwa manusia." [al-Ajwibah al-Mufidah hlm.66-67]
Mendekati Pintu-pintu Penguasa
Kekuasaan adalah ladang yang sangat menggoda seseorang yang berkuasa untuk memenuhi hasrat nafsunya sehingga tidak sedikit penguasa yang lemah imannya menjadikan kekuasaan sebagai jembatan untuk menzalimi manusia. Dalam benaknya tersirat kalimat "mumpung menjabat".
Oleh karena itu, tidak pantas bagi seorang muslim untuk mendekati pintu-pintu penguasa kecuali ketika terpaksa dan keperluan yang mendesak.
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa mendatangi pintu-pintu penguasa, dia akan terfitnah (tergoda agamanya)." [HR.ath-Thabrani dalam al-Kabir dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu dan Shahih al-Jami' no.6124]
Ibnu Muflih al-Hanbali rahimahullah menerangkan, "Hadits ini dibawa (penafsirannya) kepada orang yang mendatangi penguasa untuk mencari dunia, lebih-lebih bila penguasa itu zalim. Dimaknakan pula orang yang terbiasa mendatangi pintu penguasa, karena dikhawatirkan ia akan tergoda (agamanya) dan dihinggapi sikap bangga diri." [al-Adab asy-Syar'iyyah 3/458]
Al-Munawi rahimahullah berkata (yang maknanya), bahwa orang yang masuk kepada penguasa bisa jadi akan melihat bergelimangnya penguasa dalam beragam nikmat sehingga akan menyebabkan dirinya meremehkan nikmat yang Allah berikan padanya. Bisa jadi pula ia melihat kemungkaran pada penguasa lalu tidak mengingkarinya, padahal itu wajib dia lakukan. Adakalanya orang yang masuk kepada mereka karena menginginkan harta benda penguasa sehingga ia mengambil sesuatu yang haram." [Faidhul Qadir 6/122]
Karena kehati-hatian para ulama, kebanyakan mereka tidak mau masuk kepada penguasa karena agama dan ilmu adalah segala-galanya. Diantara mereka adalah al-Imam Ahmad, Sufyan ats-Tsauri, Ibnul MUbarak, al-Fudhail, dan yang lain rahimahumullah. Bahkan, Said bin Musayyib rahimahullah berkata, "Apabila kamu melihat seorang alim masuk kepada penguasa, waspadailah dia, karena ia adalah pencuri."
Akan tetapi, sebagian ulama memandang bolehnya masuk kepada penguasa untuk memberi nasehat dan mengingatkan mereka. Lebih-lebih jika penguasa itu adil dan baik sehingga mendukung kebaikan penguasa. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah 'Urwah bin az-Zubair dan Ibnu Syihab ketika menyertai khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. [al-Adab asy-Syar'iyyah karya Ibnu Muflih al-Hanbali 3/457-467]
Menasehati Penguasa
Mengajak kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan mengingatkan orang yang lalai, adalah tugas yang mulia karena termasuk bagian dari dakwah. Hukum dalam berdakwah adalah mendahulukan sikap hikmah, kemudian mau'izhah hasanah. Sikap bijak dalam menasehati manusia berlaku terhadap siapa pun, lebih-lebih dalam menasehati penguasa.
Berikut beberapa etika menasehati penguasa :
1 Sembunyi-sembunyi dan tidak terang-terangan
Hal ini berlandaskan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam,
"Barangsiapa ingin menasehati penguasa hendaknya tidak menampakkannya terang-terangan, tetapi ia memegang tangannya lalu menyepi dengannya. Apabila penguasa itu menerimanya, itulah (yang diharapkan). Jika tidak, dia telah menjalankan apa yang menjadi kewajibannya." [HR. Ibnu Abi 'Ashim dari shahabat 'Iyadh bin Ghunmin radhiyallahu 'anhu, dan dinyatakan shahih sanadnya oleh asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah]
Cara yang seperti ini, disamping merupakan petunjuk agama, juga akan menjadikan nasehat lebih mudah diterima karena penguasa tidak merasa dicemarkan namanya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang menasehati penguasa secara terang-terangan dan membeberkan kesalahan mereka di mimbar-mimbar, melalui surat terbuka yang bisa dibaca oleh semua orang, atau disiarkan melalui media, tentu sangat bertentangan dengan bimbingan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam yang mulia.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, "Bukan cara Salaf (generasi awal umat Islam yang terbaik) menyebarkan kekurangan-kekurangan penguasa dan membeberkannya di mimbar-mimbar. Sebab, hal itu bisa menyulut kudeta, tidak didengar dan tidak ditaatinya pemerintah dalam hal yang baik, serta mengarah kepada pemberontakan yang membawa mudharat, bahkan tidak ada manfaatnya. Akan tetapi, cara yang tepat menurut Salaf adalah memberikan nasehat (secara tertutup) antara mereka dan penguasa, mengirim surat kepadanya, atau menghubungi ulama yang bisa menyampaikan kepada penguasa sehingga penguasa tersebut akan dibimbing kepada kebaikan." [Mu'malatul Hukkam karya Abdus Salam Barjas hlm.43]
2 Bersikap santun
Ketika mengingatkan penguasa dan menyampaikan aspirasi hendaknya memiliki sikap santun. Jika ada yang mengatakan bahwa menyampaikan aspirasi kepada penguasa dengan berorasi didepan publik dan berdemonstrasi adalah perkara yang sah-sah saja selama tidak mengganggu ketertiban umum, maka jawabannya adalah bahwa aksi demontrasi, baik itu aksi damai -katanya- maupun anarkis telah menimbulkan sekian banyak kemudharatan.
Misalnya, banyak layanan publik terganggu, para pengguna jalan terjebak aksi demo sehingga mereka harus mengalihkan rute, mengorbankan waktu dan biaya yang tidak sedikit secara sia-sia. Belum lagi seringkali ujungnya ialah aksi anarkis yang membawa dampak serius. Ini hanya beberapa kebobrokan demonstrasi. Lebih-lebih bila dilihat dengan kacamata Islam, sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adab kesopanan.
3 Tidak menggunakan kata-kata kasar
Cukup bagi orang yang ingin amar ma'ruf nahi munkar terhadap penguasa untuk mengingatkan dan menasehatinya. Adapun kalimat, "Wahai orang zalim", yang seperti ini akan menimbulkan kekacauan dan kemungkaran yang lebih besar. Cara yang seperti ini tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan mudarat yang lebih besar. [Mukhtashar Minhajul Qashidin hlm.169]
Coba perhatikan perintah Allah kepada Nabi Musa dan Harun 'alaihimussalam untuk mengatakan kepada Fir'aun ucapan yang lembut, padahal Fir'aun tergolong orang yang terjahat dan terkafir.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
"Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut." [QS. Thaha; 44]
4 Tulus dalam memberikan nasehat dan menjaga keikhlasan hati dari niat duniawi
Ketulusan saat memberikan nasehat akan membuahkan hasil dengan izin Allah, baik cepat maupun lambat.
Dahulu 'Atha bin Abi Rabah masuk kepada Amiril Mukminin (khalifah) Hisyam. Ia mnegingatkan khalifah tentang orang-orang yang berhak disantuni dari kaum muslimin. Ia juga mengingatkan khalifah agar tidak membebani orang kafir dzimmi (orang kafir yang tinggal di negara muslimin) lebih dari kemampuannya.
Sang khalifah pun mengikuti nasehatnya. Lalu khalifah mengatakan kepadanya, "Adakah keperluan yang lain?"
'Atha menjawab, "Ya, wahai amirul mukminin, bertaqwalah kepada Allah, karena engkau dicipta sendirian, meninggal sendirian, dibangkitkan sendirian, dan dihisab sendirian. Sungguh, demi Allah, tidak ada seorang pun yang engkau lihat sekarang ikut menyertaimu nanti!"
Hisyam pun menangis, lalu 'Atha berdiri (untuk pergi). Ketika 'Atha sudah berada di pintu, tiba-tiba ada seorang yang mengikutinya dengan membawa kantung. Tidak diketahui persis, apakah isinya perak atau emas.
Orang itu berkata, "Sesungguhnya Amiril Mukminin memberimu ini."
'Atha lantas membacakan ayat,
"Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu. Upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam." [QS. Asy-Syu'ara; 127]
Kemudian 'Atha keluar. Sungguh demi Allah, 'Atha tidaklah minum seteguk air pun dari air yang ada di sisi mereka (majelis Khalifah), bahkan tidak pula yang kurang dari itu. [Mukhtashar Minhajul Qashidin hlm.174-175]
Majalah Asy-Syariah no.95/1434H/2013
Oleh karena itu, Islam telah mengatur hubungan antara rakyat dengan penguasanya. Setiap pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan kepada yang lain. Dengan demikian, akan terjalin komunikasi yang baik sehingga terwujud kemaslahatan bersama yaitu tegaknya agama dan lurusnya perkara dunia.
Sungguh, betapa indah kehidupan ketika penguasa mencintai rakyatnya dan mengerti tanggungjawab yang dipikul di atas pundaknya lalu dijalankan dengan sepenuh ketulusan. Dengan ini rakyat akan menaruh rasa hormat dan mencintai penguasanya. Keadilan ditegakkan, serta rasa aman dan nyaman terjamin. Kebaikan dijunjung tinggi dan kejelekan ditumbangkan.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian; serta kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian." [HR.Muslim dari Auf bin Malik radhiyallahu 'anhu]
Adab Rakyat terhadap Penguasa
Karena penguasa memikul tanggung jawab yang berat dalam mengurusi perkara rakyatnya maka sudah semestinya rakyat memberikan dukungan kepada mereka dalam mewujudkan program-program yang baik. Dukungan rakyat sangat berarti sehingga penguasa semakin tulus dalam menjalankan roda kepemerintahannya.
Diantara yang harus diberikan oleh rakyat kepada penguasanya adalah taat dan mendengar terhadap perintah penguasa, sebagaimana firman Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu." [QS. An-Nisa;59]
Ketaatan kepada penguasa selalu dijalankan, baik dalam kondisi sempit atau lapang dan seperti apapun kondisi penguasa meskipun dia berasal dari budak sahaya atau bahkan seorang muslim yang fasik. Ketaatan seorang muslim kepada penguasa semata-mata karena melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, serta menjaga kekondusifan suasana, bukan karena ingin cari muka, berharap materi, ataupun ambisi jabatan/tahta. Akan tetapi, ketaatan terhadap perintah mereka pada perkara yang bukan maksiat.
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah."
[HR.Ahmad dan al-Hakim dari Imran radhiyallahu 'anhu. Shahih al-Jami' ; 7520]
Rakyat juga semestinya mendudukkan penguasa pada kedudukannya dan menghormatinya. Sebab, orang yang menghormati penguasa akan dihormati oleh Allah, sedangkan yang menghinakan penguasa akan dihinakan oleh Allah. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Abi 'Ashim dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah no.1024.
Rakyat juga tidak boleh menggunjing penguasa. Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan,
"Membicarakan (keburukan) penguasa termasuk bentuk menggunjing dan mengadu domba. Keduanya adalah perbuatan yang sangat diharamkan setelah syirik, lebih-lebih bila yang digunjing adalah para ulama dan penguasa, tentu lebih diharamkan, karena akan timbul darinya sejumlah kerusakan yaitu: tercerai berainya persatuan dan munculnya sikap buruk sangka dan pesimis pada jiwa-jiwa manusia." [al-Ajwibah al-Mufidah hlm.66-67]
Mendekati Pintu-pintu Penguasa
Kekuasaan adalah ladang yang sangat menggoda seseorang yang berkuasa untuk memenuhi hasrat nafsunya sehingga tidak sedikit penguasa yang lemah imannya menjadikan kekuasaan sebagai jembatan untuk menzalimi manusia. Dalam benaknya tersirat kalimat "mumpung menjabat".
Oleh karena itu, tidak pantas bagi seorang muslim untuk mendekati pintu-pintu penguasa kecuali ketika terpaksa dan keperluan yang mendesak.
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa mendatangi pintu-pintu penguasa, dia akan terfitnah (tergoda agamanya)." [HR.ath-Thabrani dalam al-Kabir dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu dan Shahih al-Jami' no.6124]
Ibnu Muflih al-Hanbali rahimahullah menerangkan, "Hadits ini dibawa (penafsirannya) kepada orang yang mendatangi penguasa untuk mencari dunia, lebih-lebih bila penguasa itu zalim. Dimaknakan pula orang yang terbiasa mendatangi pintu penguasa, karena dikhawatirkan ia akan tergoda (agamanya) dan dihinggapi sikap bangga diri." [al-Adab asy-Syar'iyyah 3/458]
Al-Munawi rahimahullah berkata (yang maknanya), bahwa orang yang masuk kepada penguasa bisa jadi akan melihat bergelimangnya penguasa dalam beragam nikmat sehingga akan menyebabkan dirinya meremehkan nikmat yang Allah berikan padanya. Bisa jadi pula ia melihat kemungkaran pada penguasa lalu tidak mengingkarinya, padahal itu wajib dia lakukan. Adakalanya orang yang masuk kepada mereka karena menginginkan harta benda penguasa sehingga ia mengambil sesuatu yang haram." [Faidhul Qadir 6/122]
Karena kehati-hatian para ulama, kebanyakan mereka tidak mau masuk kepada penguasa karena agama dan ilmu adalah segala-galanya. Diantara mereka adalah al-Imam Ahmad, Sufyan ats-Tsauri, Ibnul MUbarak, al-Fudhail, dan yang lain rahimahumullah. Bahkan, Said bin Musayyib rahimahullah berkata, "Apabila kamu melihat seorang alim masuk kepada penguasa, waspadailah dia, karena ia adalah pencuri."
Akan tetapi, sebagian ulama memandang bolehnya masuk kepada penguasa untuk memberi nasehat dan mengingatkan mereka. Lebih-lebih jika penguasa itu adil dan baik sehingga mendukung kebaikan penguasa. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah 'Urwah bin az-Zubair dan Ibnu Syihab ketika menyertai khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. [al-Adab asy-Syar'iyyah karya Ibnu Muflih al-Hanbali 3/457-467]
Menasehati Penguasa
Mengajak kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan mengingatkan orang yang lalai, adalah tugas yang mulia karena termasuk bagian dari dakwah. Hukum dalam berdakwah adalah mendahulukan sikap hikmah, kemudian mau'izhah hasanah. Sikap bijak dalam menasehati manusia berlaku terhadap siapa pun, lebih-lebih dalam menasehati penguasa.
Berikut beberapa etika menasehati penguasa :
1 Sembunyi-sembunyi dan tidak terang-terangan
Hal ini berlandaskan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam,
"Barangsiapa ingin menasehati penguasa hendaknya tidak menampakkannya terang-terangan, tetapi ia memegang tangannya lalu menyepi dengannya. Apabila penguasa itu menerimanya, itulah (yang diharapkan). Jika tidak, dia telah menjalankan apa yang menjadi kewajibannya." [HR. Ibnu Abi 'Ashim dari shahabat 'Iyadh bin Ghunmin radhiyallahu 'anhu, dan dinyatakan shahih sanadnya oleh asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah]
Cara yang seperti ini, disamping merupakan petunjuk agama, juga akan menjadikan nasehat lebih mudah diterima karena penguasa tidak merasa dicemarkan namanya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang menasehati penguasa secara terang-terangan dan membeberkan kesalahan mereka di mimbar-mimbar, melalui surat terbuka yang bisa dibaca oleh semua orang, atau disiarkan melalui media, tentu sangat bertentangan dengan bimbingan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam yang mulia.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, "Bukan cara Salaf (generasi awal umat Islam yang terbaik) menyebarkan kekurangan-kekurangan penguasa dan membeberkannya di mimbar-mimbar. Sebab, hal itu bisa menyulut kudeta, tidak didengar dan tidak ditaatinya pemerintah dalam hal yang baik, serta mengarah kepada pemberontakan yang membawa mudharat, bahkan tidak ada manfaatnya. Akan tetapi, cara yang tepat menurut Salaf adalah memberikan nasehat (secara tertutup) antara mereka dan penguasa, mengirim surat kepadanya, atau menghubungi ulama yang bisa menyampaikan kepada penguasa sehingga penguasa tersebut akan dibimbing kepada kebaikan." [Mu'malatul Hukkam karya Abdus Salam Barjas hlm.43]
2 Bersikap santun
Ketika mengingatkan penguasa dan menyampaikan aspirasi hendaknya memiliki sikap santun. Jika ada yang mengatakan bahwa menyampaikan aspirasi kepada penguasa dengan berorasi didepan publik dan berdemonstrasi adalah perkara yang sah-sah saja selama tidak mengganggu ketertiban umum, maka jawabannya adalah bahwa aksi demontrasi, baik itu aksi damai -katanya- maupun anarkis telah menimbulkan sekian banyak kemudharatan.
Misalnya, banyak layanan publik terganggu, para pengguna jalan terjebak aksi demo sehingga mereka harus mengalihkan rute, mengorbankan waktu dan biaya yang tidak sedikit secara sia-sia. Belum lagi seringkali ujungnya ialah aksi anarkis yang membawa dampak serius. Ini hanya beberapa kebobrokan demonstrasi. Lebih-lebih bila dilihat dengan kacamata Islam, sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adab kesopanan.
3 Tidak menggunakan kata-kata kasar
Cukup bagi orang yang ingin amar ma'ruf nahi munkar terhadap penguasa untuk mengingatkan dan menasehatinya. Adapun kalimat, "Wahai orang zalim", yang seperti ini akan menimbulkan kekacauan dan kemungkaran yang lebih besar. Cara yang seperti ini tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan mudarat yang lebih besar. [Mukhtashar Minhajul Qashidin hlm.169]
Coba perhatikan perintah Allah kepada Nabi Musa dan Harun 'alaihimussalam untuk mengatakan kepada Fir'aun ucapan yang lembut, padahal Fir'aun tergolong orang yang terjahat dan terkafir.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
"Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut." [QS. Thaha; 44]
4 Tulus dalam memberikan nasehat dan menjaga keikhlasan hati dari niat duniawi
Ketulusan saat memberikan nasehat akan membuahkan hasil dengan izin Allah, baik cepat maupun lambat.
Dahulu 'Atha bin Abi Rabah masuk kepada Amiril Mukminin (khalifah) Hisyam. Ia mnegingatkan khalifah tentang orang-orang yang berhak disantuni dari kaum muslimin. Ia juga mengingatkan khalifah agar tidak membebani orang kafir dzimmi (orang kafir yang tinggal di negara muslimin) lebih dari kemampuannya.
Sang khalifah pun mengikuti nasehatnya. Lalu khalifah mengatakan kepadanya, "Adakah keperluan yang lain?"
'Atha menjawab, "Ya, wahai amirul mukminin, bertaqwalah kepada Allah, karena engkau dicipta sendirian, meninggal sendirian, dibangkitkan sendirian, dan dihisab sendirian. Sungguh, demi Allah, tidak ada seorang pun yang engkau lihat sekarang ikut menyertaimu nanti!"
Hisyam pun menangis, lalu 'Atha berdiri (untuk pergi). Ketika 'Atha sudah berada di pintu, tiba-tiba ada seorang yang mengikutinya dengan membawa kantung. Tidak diketahui persis, apakah isinya perak atau emas.
Orang itu berkata, "Sesungguhnya Amiril Mukminin memberimu ini."
'Atha lantas membacakan ayat,
"Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu. Upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam." [QS. Asy-Syu'ara; 127]
Kemudian 'Atha keluar. Sungguh demi Allah, 'Atha tidaklah minum seteguk air pun dari air yang ada di sisi mereka (majelis Khalifah), bahkan tidak pula yang kurang dari itu. [Mukhtashar Minhajul Qashidin hlm.174-175]
Majalah Asy-Syariah no.95/1434H/2013