Senin, 11 November 2013

Ketika Terjadi Pertikaian

Hidup berumah tangga tak selamanya berjalan mulus tanpa masalah. Bahkan, masalah pasti muncul saat dua insan telah mengikat perjanjian suci yang dinyatakan oleh Alloh dalam Al-Qur'an sebagai mitsaqan ghalizha. Sudah menjadi kemestian bahwa menikah dan hidup bersama, seatap, bahkan satu selimut dengan anak manusia yang memiliki sifat banyak kesalahan dan khilaf, pasti suatu saat memunculkan persoalan, kecil atau besar, remeh atau berat. Hanya di surga kelak barulah didapatkan rumah tangga tanpa problem, selalu seia sekata dalam limpahan nikmat yang tiada berkesudahan dari Sang Pemberi kenikmatan, Alloh subhanahu wa ta'ala. Adapun rumah tangga di dunia sebagaimana yang kita maklumi...

Namun, sebenarnya jika pihak suami dan istri menunaikan dengan semestinya kewajiban yang dituntut darinya dan tidak berlebihan menuntut haknya, niscaya tidak ada kesempatan munculnya perselisihan yang membahayakan keutuhan rumah tangga. Yang ada hanyalah kebersamaan sepasang insan, suami istri yang bahagia dengan sedikit riak-riak kehidupan sebagai bumbu pernikahan.

Akan tetapi, sekali lagi, hidup mesti tak lepas dari masalah karena kesempurnaan hanya milik Alloh. Bagaimanapun seorang suami atau seorang istri berupaya agar tidak timbul persoalan dalam kebersamaan mereka, terkadang tetap saja ada permasalahan. Demikianlah manusia dengan sifat lemah dan kurang yang dimilikinya.

Lalu bagaimana cara kita bersikap saat muncul persoalan, pertikaian, atau percekcokan?!
Ada beberapa hal yang sebaiknya ditempuh saat terjadi permasalahan/pertikaian dalam rumah tangga, sebagaimana dinasehatkan oleh ahlul ilmi. Berikut kami paparkan sebagiannya :

1. Setiap pihak -dalam hal ini suami dan istri- harus berhias dengan kesabaran, tabah menahan diri, dan tidak serampangan/tergesa-gesa bertindak ketika sedang marah dan emosi.
Terlebih seorang istri, hendaknya ia tidak membantah/menjawab seluruh kalimat yang dilemparkan suaminya kepadanya saat marah. Demikian pula suami, ia harus bisa menahan diri sehingga tidak mengucapkan kalimat yang menyakiti hati istrinya, atau melontarkan cacian dan celaan yang dapat menorehkan luka.

2. Suami hendaknya meninggalkan kamar/ruangan tempat terjadinya perselisihan atau pertengkaran. Jika memang terpaksa ia harus keluar rumah, itu lebih baik hingga urat syarafnya yang tegang kembali tenang dan marahnya reda. Urusan pun kembali berjalan pada posisinya yang normal.
Jika si suami kembali ke rumahnya, hendaknya ia tidak lupa menunaikan hak seorang muslim terhadap muslim yang lain, apalagi si muslim itu adalah istrinya sendiri. Disamping itu, ia juga menjalankan adab ketika masuk rumah, yaitu mengucapkan salam, 'Assalamu 'alaikum warohmatullohi wabarokatuh'.
Mendapatkan ucapan salam demikian, maka seorang istri hendaklah mengingat kewajibannya kepada saudaranya sesama muslim sebagaimana disebutkan dalam hadits,
"Lima hal yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim terhadap saudaranya, yaitu menjawab salam, mendoakan 'Yarhamukallah' kepada orang yang bersin (yang memuji Alloh ketika bersinnya), memenuhi undangan, menjenguk yang sakit, dan mengikuti jenazah." [HR. Bukhari dan Muslim]

Jadi, ia tetap menjawab salam suaminya walaupun sedang marahan dengannya. Tentu sebagai penyerta ucapan salam, hendaknya keduanya saling memberikan senyuman kecil, karena tidak mungkin kalimat yang berisi doa dan salam kedamaian ini diucapkan dengan wajah cemberut. Semestinya senyuman yang tersungging dari keduanya ini dapat mengetuk hati yang terkunci karena emosi, meredam marah, bahkan menghilangkannya, dan berujung dengan berakhirnya percekcokan. Ini adalah langkah awal untuk menyelesaikan permasalahan.

3. Saat terjadi perselisihan dan kemarahan, seorang suami tidak boleh berpikir untuk bercerai. Keinginan bercerai ini harus dijauhkan dari benaknya karena syaithan bisa mengambil kesempatan dalam keadaan si insan labil akibat kemarahan seperti ini. Jika bisikan syaithan dituruti, dilakukanlah tindakan dan dijatuhkanlah keputusan yang tidak akan diambil saat hati itu tenang dan keadaan stabil. Akhirnya, sesal datang kemudian, ketika penyesalan tidak lagi berguna.
Perceraian adalah jalan keluar terakhir yang diberikan oleh Islam saat hidup bersama sebagai sepasang suami istri tidak mungkin lagi diteruskan dan mustahil tetap dipertahankan. Perceraian bukanlah pedang atau cambuk yang dilecutkan kepada istri setiap kali si suami marah. Bahkan, termasuk kedunguan jika ada orang yang menyangka bahwa perceraian adalah solusi dari problemnya, padahal masih mungkin ditempuh cara-cara lain yang positif.

4. Seorang istri yang dijatuhi talak satu atau dua oleh suaminya, hendaknya tidak berkeinginan keluar dari rumah suaminya lalu tinggal di rumah orangtua/keluarganya selama masih dalam masa iddah, walaupun suami yang menyuruhnya pergi/mengusirnya dalam keadaan marah.
Tuntutan suami itu tidaklah benar. Akan tetapi, emosi dan kemarahan telah membutakan dan menghilangkan kesadarannya.
note : Istri yang ditalak raj'i/talak satu atau dua, selain berhak beroleh nafkah juga berhak mendapat tempat tinggal, yakni si istri tidak boleh keluar atau dikeluarkan dari rumah suaminya, sebagaimana firman Alloh,

"Janganlah kalian (para suami) mengeluarkan mereka (istri-istri yang ditalak raj'i) dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar dari rumah terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata." [QS. ath-Thalaq ; 1]

Selama dalam masa iddah, statusnya adalah istri sehingga memiliki hak sebagaimana hak seorang istri dan menanggung kewajiban sebagaimana kewajiban seorang istri, selain dalam hal ini jima'. Karena statusnya sebagai istri yang ditalak, berarti suami tidak boleh melakukan jima' dengannya. Kapanpun terjadi jima', berarti mereka dianggap telah rujuk.

Oleh sebab itu, si istri tidak boleh terpengaruh oleh emosi suami. Tetaplah ia diam di rumah suaminya dan tidak keluar darinya. Keluar meninggalkan rumah suami adalah urusan yang mudah dilakukan. Keputusannya ada di tangan istri. Akan tetapi, kembali ke rumah suami, bersatu kembali dalam kedamaian setelah meninggalkannya dalah urusan yang sulit karena keputusannya bukan di tangan istri, tetapi di tangan suami. Jika sebuah urusan berada di tangan orang lain, tentu tidak mudah bertindak-tanduk didalamnya.
Di sisi lain, diimbau kepada istri untuk tidak bermudah-mudahan meminta cerai dari suami ketika ada percekcokan.

5. Ketika seorang suami melihat kekurangan istrinya dalam menunaikan kewajibannya dan memenuhi kebutuhan suaminya, seharusnya suami menyadari bahwa istri yang sempurna tidak ada di dunia, hanya ada di akhirat saja. Bagaimanapun sempurnanya seorang wanita, pasti ia memiliki kekurangan. Oleh karena itu, suami hendaklah melihat sisi-sisi positif yang ada pada istrinya dan memandang celah-celah kebaikan pada istrinya.
Inilah makna bimbingan Nabi sholallohu 'alaihi wasallam yang mulia,
"Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia membenci satu perangai dari si mukminah, niscaya ia akan ridha dengan perangainya yang lain." [HR. Imam Muslim dalam Shahih-nya]
Suami hendaknya mengingat bahwa wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, padahal sifat tulang rusuk itu bengkok. Maka dari itu, mau tidak mau, suami bernikmat-nikmat dan bersenang-senang dengan istrinya di atas kebengkokan yang merupakan tabiatnya. Jika suami menuntut, hal itu akan mematahkannya. Patahnya adalah menalaknya. Padahal menalaknya akan memberi mudharat bagi suami dan istri sekaligus, disamping mudharat bagi masyarakat. Namun, jika ada kebutuhan darurat yang syar'i, barulah ditempuh jalan perpisahan.

6. Seorang istri tidak boleh menceritakan masalah yang terjadi antara dia dan suaminya kepada ayahnya, ibunya, salah seorang kerabatnya, atau kerabat suami.
Hal ini akan memperluas/memperuncing masalah dan membuat keluarga istri tidak suka kepada si suami. Di sisi lain, istri juga tidak beroleh faedah apapun selain pandangan kebencian keluarganya kepada suaminya. Perselisihan yang ada juga akan terus diingat, tidak bisa dilupakan.
Beda halnya jika pertikaian dijaga hanya berputar didalam rumah, tidak diketahui pihak luar, niscaya akan berakhir dan terlupakan bersama dengan terjadinya perdamaian antara keduanya atau saat tersungging senyuman dari salah satunya kepada yang lain.
Dengan demikian, tidak sepantasnya istri menceritakan persoalan/percekcokannya dengan suaminya kepada keluarganya, apapun bentuk masalahnya, selama si istri ingin tetap hidup bersama suaminya. Bahkan, sampaipun hidup bersama tidak mungkin lagi diharapkan, bahtera tidak mungkin lagi diselamatkan, dan jatuh keputusan akhir harus bercerai dengan sang suami, si istri tetap tidak boleh menceritakannya. Maka dari itu, tidak sepantasnya seorang istri menyebarkan keburukan mantan suaminya, berbuat jelek kepadanya, dan membongkar aib/cacat/celanya sehingga menjatuhkan nama baiknya.
Perbuatan seperti ini berarti merobek tabir yang ditutupkan Alloh kepada keduanya. Disamping itu, seorang muslim juga diperintah untuk menutup aib saudaranya. Perbuatan ini juga merupakan sikap penentangan terhadap ikatan kuat yang pernah terjalin diantara keduanya, padahal Alloh telah mengingatkan,
"Janganlah kalian melupakan keutamaan diantara kalian." [QS. Al-Baqarah ; 237]
Maksudnya, janganlah kalian melupakan kebaikan diantara kalian. (Tafsir Ibnu Katsir 2/378)

7. Tidak sepantasnya suami memberitakan kepada keluarganya atau kepada keluarga istrinya tentang apa yang terjadi antara dia dan istrinya. Ia juga tidak boleh mengadukan istri kepada pihak keluarga istri.
Problem yang ada adalah problemnya, dan dia sendiri yang harus menghadapinya. Tidak boleh ia melibatkan orang lain ke dalam masalahnya.

8. Ketika seorang istri melihat atau menangkap satu tanda dari suaminya yang menunjukkan si suami ingin berdamai atau baikan kembali, hendaknya istri saat itu juga dengan segera menyambut ajakan atau isyarat damai tersebut. Istri hendaknya bersyukur dengan baiknya tabiat suaminya.
Demikian pula, seorang suami seharusnya menerima upaya apapun yang dilakukan oleh istri guna mencari keridhaannya, selama tidak melanggar keridhaan Alloh, atau selama upaya tersebut merupakan hal yang ma'ruf (baik), bukan yang mungkar. Suami hendaknya juga mensyukuri upaya sang istri tersebut.

Demikian sedikit bimbingan saat terjadi pertikaian....,
Semoga Alloh memberkahi kalian berdua dan mengumpulkan kalian selalu dalam kebaikan. Wallahu a'lam bish-showwab.
[Disarikan dari Risalah ilal 'Arusin wa Nashihah liz Zaujain oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah]


sumber : majalah Asy-Syariah no.70/1432/2011