Berlebihan dalam berbicara tidak mengandung kebaikan sama sekali karena mengandung kemudharatan murni. Ketika seseorang mengetahui bahwa setiap kata (yang dia ucapkan) itu akan ditulis sebagai pahala atau dosa baginya, dia menahan diri dari kebanyakan pembicaraannya. Dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. Ketika sempurna akal seseorang, sedikitlah bicaranya.
Betapa banyak dalil dalam Kitabullah dan Sunnah yang mendorong untuk meninggalkan sikap berlebih-lebihan dan menahan diri dari kebanyakan pembicaraan. Diantaranya :
"Tiada suatu ucapan yang diucapkannya melainkan didekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir." [QS. Qaf ; 18]
Allah 'azza wa jalla juga berfirman :
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia." [QS. An Nisaa' ; 114]
Asy-Syaikh ibnu Sa'di rahimahullah berkata : "Maksudnya, tidak ada kebaikan pada kebanyakan apa yang dibisikkan dan diperbincangkan manusia. Jika tidak ada kebaikan padanya, maka bisa jadi berupa sesuatu yang tidak berfaedah, seperti terlalu banyak berbicara yang mubah. Dan bisa jadi pula berupa kejelekan dan kemudharatan murni, seperti pembicaraan yang diharomkan dengan segala jenisnya." [ Tafsir Ibnu Sa'di / 165 ]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan yang baik atau diam." [HR. Bukhari dan Muslim]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata : "Ini termasuk jawami'ul kalim. Karena seluruh ucapan itu bisa jadi baik atau jelek, atau bisa jadi condong kepada salah satunya. Termasuk ucapan yang baik adalah semua ucapan yang dituntut, baik yang fardhu maupun yang sunnah. Ucapan seperti ini diizinkan meskipun jenisnya berbeda-beda. Termasuk ditakwil kepada ucapan yang baik. Sedangkan yang selain itu, baik ucapan yang jelek atau yang bisa ditakwil kepadanya, maka ketika ada keinginan untuk membicarakannya, dia diperintahkan untuk tetap diam." [ Fathul Bari ; 12/60 ]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Termasuk baiknya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang dia tidak berkepentingan terhadapnya." [ HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Hasan ]
Makna hadits tsb, bahwa termasuk baiknya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan segala sesuatu yang dia tidak berkepentingan terhadapnya. Karena menghadapkan diri kepadanya dengan ucapan ataupun perbuatan merupakan sikap berlebih-lebihan yang tidak ada manfaatnya sama sekali.
Jarang orang menyesal karena meninggalkan sikap berlebih-lebihan. Namun, orang yang berbicara dalam hal yang tidak perlu itulah yang sering menyesal. Jarang pula kamu dapati ada orang yang pada dirinya terkumpul antara akhlaq yang baik dan berbicara tidak karuan. Bahkan hal itu hampir tidak bisa didapati.
BERLEBIHAN DALAM MEMANDANG
Membolak-balikkan pandangan pada setiap yang menakjubkan, menyenangkan dan selainnya seperti istana-istana, rumah-rumah, dan kendaraan serta harta benda lainnya, bukanlah termasuk akhlaq yang baik.
Allah telah melarang kita dari membolak-balikkan pandangan kepada kenikmatan dunia yang akan hilang dan keindahannya yang fana. Karena hal itu merupakan sumber ketergantungan diri terhadap dunia.
Allah 'azza wa jalla berfirman :
"Dan janganlah kau tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal." [QS. Thaha ; 131]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : "Memandang pepohonan, kuda, dan binatang ternak; jika disebabkan anggapan baik terhadap dunia, kekuasaan dan harta; maka hal itu tercela. Adapun jika pandangan mereka tsb karena suatu sebab yang tidak mengurangi agama dan didalamnya hanyalah terdapat kesenangan bagi jiwa seperti memandang bunga-bungaan, maka ini termasuk perkara sia-sia yang merupakan sarana untuk membantu al-haq." [ Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyyah hal.35 ]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian dan janganlah melihat kepada orang yang di atas kalian, karena hal itu lebih pantas agar kalian tidak memandang rendah nikmat Alloh atas kalian." [HR. Bukhari dan Muslim, ini adalah lafadz Muslim]
An-Nawawi rahimahullah berkata : "Ibnu Jarir dan selainnya berkata : 'Hadits ini mengumpulkan berbagai jenis kebaikan. Karena, jika seseorang melihat orang lain yang dilebihkan atasnya dalam hal dunia, jiwanya akan menuntut yang semisal dengannya dan dia menganggap kecil nikmat Allah Ta'ala yang ada padanya. Dia juga bersemangat untuk menambah supaya bisa menyusul atau mendekati orang tsb. Inilah yang dijumpai pada keumuman manusia. Adapun jika dalam perkara dunia itu dia memandang kepada orang yang berada dibawahnya, menjadi tampaklah olehnya nikmat Allah atasnya sehingga dia mensyukurinya, tawadhu', dan mengerjaikan kebaikan padanya'." [ Syarh An-Nawawi 'ala Muslim ]
Ada pula pandangan yang diharomkan, seperti memandang wanita ajnabiyyah (bukan mahrom), amrad (anak laki-laki yang belum tumbuh jenggotnya), dll.
Yang masih tersisa adalah sering menoleh, baik dengan mata ataupun wajah. Sering menoleh ini meniadakan akhlaq yang baik, bahkan merupakan pertanda kebodohan dan adab yang jelek.
'Ali radhiyallahu 'anhu berkata : Dua tingkah laku dan kebiasaan yang tidak akan hilang dari orang yang dungu: sering menoleh dan cepat menjawab tanpa pengetahuan." [ Kitab Al-Adab ; Ibnu Syamsul Khilafah, hal.56 ]
BERLEBIHAN DALAM BERGAUL
'Uzlah (mengasingkan diri) dari manusia terkadang merupakan sarana untuk menjaga lisan, penglihatan, dan pendengaran dari mendengarkan hal-hal yang mengeruhkan jiwa dan memenuhi hati, berupa kegilaan, dendam dan permusuhan. Mengasingkan diri merupakan perkara yang disukai untuk menjaga waktu dan introspeksi diri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : "Adapun mengasingkan diri dari manusia dalam hal berlebih-lebihan didalam perkara yang mubah dan perkara yang tidak bermanfaat -karena zuhud terhadapnya-, maka hal itu mustahab." [ Fatawa Ibnu Taimiyah; 10/405 ]
Ibnul Qoyyim berkata : "Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam bergaul merupakan penyakit parah yang mendatangkan semua kejelekan. Betapa banyak pergaulan dan persahabatan itu menghilangkan nikmat, menabur benih permusuhan, dan menanamkan rasa sakit didalam hati yang mampu melenyapkan gunung yang kokoh, sementara rasa sakit dalam hati tsb tidak akan hilang. Sehingga berlebihan dalam bergaul merupakan kerugian dunia dan akhirat. Hanya saja seorang hamba sepantasnya mengambil dari pergaulan itu sebatas kadar kebutuhan." [ Bada''i'ul Fawa'id hal.231 ]
Beliau juga berkata : "Berkumpul dengan para saudara itu ada dua bagian :
Pertama, berkumpul untuk menghibur hati dan mengisi waktu. Perkumpulan ini mudharatnya lebih kuat daripada manfaatnya. Minimal, perkumpulan seperti ini akan merusak hati dan menyia-nyiakan waktu.
Kedua, berkumpul dengan mereka untuk saling menolong diatas sebab-sebab keselamatan serta saling berwasiat untuk menetapi kebenaran dan kesabaran. Perkumpulan ini termasuk ghanimah yang paling agung dan paling bermanfaat.
Namun, didalamnya terdapat tiga bencana :
1. Sebagian mereka menghias-hiasi (perkataan) sebagian yang lain
2. Berbicara dan bergaul melebihi kebutuhan
3. Perkumpulan tsb menjadi keinginan dan kebiasaan yang bisa menyebabkan seseorang terhenti dari tujuannya.
Bahkan, terus menerus bergaul dengan manusia tanpa alasan yang membolehkannya merupakan penyebab riya' dan jalan menuju kebinasaan.
Ibnul Jauzy berkata : 'Hampir tidak ada yang menyukai berkumpul dengan manusia kecuali (hati) yang kosong. Karena hati yang tersibukkan dengan al-haq akan lari dari makhluk. Ketika hati kosong dari mengetahui al-haq, dia pun tersibukkan dengan makhluk. Sehingga dia pun beramal untuk dan karena mereka, dan dia binasa karena riya' tanpa dia mengetahuinya'." [ Shaidul Khathir hal.217 ]
-diringkas dari Kitab At Tajj al Mafquud karya Faishol bin 'Abduh Qo'id al Hasyidi ; edisi terjemah "Mahkota Yang Hilang" terbiatan Cahaya Ilmu Press-